REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nanang Martono
Tulisan ini memang mempertanyakan sekolah milik siapa? Sebagian besar masyarakat tentu saja akan menjawab 'sekolah hanya milik orang kaya' yang memiliki banyak uang, sehingga mampu membayar sekolah yang sangat mahal.
Biaya sekolah memang mahal. Namun, saat ini kita tidak akan membicarakan mengenai sekolah mahal yang menyebabkan warga miskin tidak mampu menikmati pendidikan. Memang, sekolah mahal selalu menjadi persoalan yang menakutkan bagi warga miskin.
Untuk menanggapi pandangan miring mengenai sekolah mahal, pemerintah mengeluarkan kebijakan sekolah gratis, terutama untuk jenjang pendidikan dasar. Pemerintah berharap dengan kebijakan ini warga miskin akan mudah mengenyam pendidikan.
Namun, sebenarnya apa yang terjadi setelah mereka berhasil masuk sekolah secara gratis? Kita seolah-olah beranggapan bahwa setelah mereka diberi kesempatan untuk mengenyam pendidikan sama seperti orang kaya, maka masalah pun akan selesai. Ternyata tidak. Di kelas, ternyata nasib mereka tetap 'memprihatinkan'.
Tulisan ini akan menjelaskan bahwa meskipun orang kaya dan miskin diberi kesempatan untuk bersekolah di sekolah yang sama, namun keberadaan siswa tidak mampu ternyata hanya mendapat sedikit apresiasi selama proses pembelajaran. Sekolah hanya memperhatikan kepentingan dan kebutuhan orang-orang kaya. Dan, masalah ini hampir tidak pernah menjadi perhatian banyak orang.
Bourdieu (1995), seorang sosiolog dari Prancis menyatakan bahwa sekolah sebenarnya hanya menjadi tempat untuk mengenalkan budaya dan gaya hidup kelas atas (orang kaya). Di sekolah, siswa miskin ternyata 'dipaksa' mempelajari budaya orang kaya. Sementara, budaya mereka hampir tidak pernah dipelajari di sekolah. Budaya mereka seolah dianggap sebagai budaya yang kotor, menjijikkan, kumuh, sehingga harus ditinggalkan (Martono, 2012).
Beberapa buku pelajaran SD yang beredar di pasaran dapat menjadi contoh nyata. Kehidupan orang kaya banyak dijadikan sebagai contoh untuk memperjelas materi pelajaran. Kehidupan orang kaya selalu ditampilkan dalam tulisan maupun gambar-gambar. Dalam buku pelajaran, sering kita melihat kalimat seperti, “ayah sedang membaca koran”; “Budi bertamasya ke kebun binatang”; “ayahku bekerja di kantor”; “setiap hari libur aku membantu ayah mencuci mobil”, dan sebagainya.
Penggunaan kata “aku” dalam beberapa contoh kalimat tersebut seolah memosisikan bahwa siswa yang membaca berasal dari kelas atas. Siswa dari keluarga miskin tentu saja tidak memiliki kebiasaan “mencuci mobil” setiap hari libur. Ayah mereka juga jarang yang membaca koran di rumah. Contoh tersebut jelas menunjukkan bahwa buku pelajaran sekolah lebih banyak digunakan untuk mengenalkan aktivitas orang kaya.
Lalu, di mana kehidupan orang miskin dalam buku pelajaran tersebut? Disadari atau tidak, kegiatan orang miskin ternyata hanya menjadi bahan cerita saja, mereka dijadikan objek, dianggap sebagai “orang lain”. Sebagai contoh: gambar atau cerita mengenai petani, sedikit diceritakan dari sudut pandang orang pertama (menggunakan kata “aku”). Petani hampir selalu diposisikan sebagai “orang ketiga”.
Dalam buku pelajaran sedikit dijumpai kalimat yang berbunyi “ayah pulang dari sawah”; “ayah berangkat ke sawah”; “ayahku bekerja di sawah”; “setiap hari ayah mencangkul di sawah”, “ayahku bekerja sebagai penggembala sapi, setiap hari ayah harus mencari rumput”; “sawahku sangat subur dan hijau karena ayah rajin bekerja di sawah”, dan sebagainya.
Gambar “tukang becak” misalnya, juga tidak pernah digunakan untuk menceritakan kehidupan keluarga. Kalimat “ayahku adalah seorang tukang becak”; “ayahku bekerja sebagai pemulung”; atau “ayahku seorang pedagang asongan” jarang dijumpai dalam buku pelajaran. “Pekerjaan ayah” dihubungkan dengan pekerjaan kantoran, dilengkapi gambar seorang ayah yang mengenakan dasi, sepatu, dan membawa koper. Beberapa buku memuat gambar ayah yang berangkat ke kantor mengendarai mobil.
Gambar denah rumah dalam buku pelajaran IPS SD pun tidak menggambarkan kondisi rumah keluarga miskin. Dalam buku tersebut tidak memuat gambar denah rumah yang dilengkapi dengan --misalnya-- kandang kambing atau hewan peliharaan lain.
Gambar rumah pada keluarga petani, juga tidak ditemukan dalam buku pelajaran, misalnya, gambar rumah yang dilengkapi dengan ruangan tempat menyimpan hasil panen. Hampir semua gambar denah rumah dilengkapi dengan aksesoris kelas atas, yaitu: mobil, garasi, teras, dan pagar (Martono, 2012).
Lalu, di mana “anak petani”, “anak tukang becak”, dan “anak pemulung” berada? Mereka dianggap “berada di luar sana, jauh dari sekolah”; atau “mereka tidak mungkin berada di ruang kelas ini, sehingga tidak perlu diceritakan”. Kehidupan orang miskin seolah-olah hanya diposisikan sebagai sebuah hiburan, tontonan, bahan cerita, bahan puisi, dan cukup diceritakan saja. Budaya mereka hanya menjadi pelengkap dan penghias buku pelajaran.
Maka, pantaslah kita mempertanyakan kembali, sekolah ini sebenarnya milik siapa? Jika sekolah memang untuk semua golongan, mengapa materi-materi pelajaran di sekolah lebih banyak menggambarkan kehidupan orang-orang kaya saja?
Hal ini tentu saja tidak pernah mendapat perhatian dari para pelaku pendidikan, terutama guru yang terlibat langsung dalam menyampaikan materi di kelas. Ini dianggap sebagai sesuatu yang wajar dan normal. Bourdieu kembali menegaskan bahwa penanaman gaya hidup dan kebiasaan kelas atas ini memang dilakukan tanpa sadar. Seolah-olah setiap orang akan menganggap hal ini sebagai hal “yang semestinya” dan bukan sebuah masalah.
Parahnya, siswa dari keluarga miskin juga menganggap hal ini sebagai sesuatu yang wajar. Mereka tidak menyadari bahwa budaya dan kebiasaan mereka sering menjadi bahan cemoohan di sekolah. Mereka juga mengamini bahwa budaya orang kaya adalah budaya yang sangat ideal, budaya yang baik, sehingga mereka pun akan meniru kebiasaan teman-temannya dari golongan kaya (Martono, 2012).
Bagi pelaku pendidikan, sudah saatnya merumuskan materi pelajaran yang objektif, tidak mengandung bias kelas dan proporsional. Materi pelajaran tidak didominasi gambaran kehidupan kelas tertentu saja. Kehidupan anak-anak dari keluarga miskin harus diakomodasi dalam bahan pelajaran di sekolah.
Mereka harus diberi ruang untuk mengenalkan budaya mereka. Mereka bukanlah objek pasif di kelas, melainkan mereka juga merupakan subjek pendidikan. Keberadaan mereka harus mendapat posisi yang sama dengan yang lain.
Dosen Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, Kandidat Ph D Sosiologi Pendidikan, Universite de Lyon 2, Prancis