REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Rizal Fahmi MA*
Demokrasi suatu pola ataupun tata cara hidup dalam menjalankan kehidupan sosial kemasyarakatan, dan politik. Sulit dicerna ketika demokrasi menjadi sebuah stigma perlawanan dari agama maupun kultur bangsa.
Selain itu juga demokrasi dituding sebuah cara berpikir dan bertindak sebebas-bebasnya akan tetapi demokrasi juga punya batasan yang mengatur harkat kemanusian juga. Sehingga biasa membuat masyarakat lebih dewasa dalam berprilaku. Dalam kenyataan demokrasi ada dua hal yang tidak terlepas dari pilihan benar atau salah.
Diantara pilihan benar dan salah, ini berarti menentukan dua pilihan melalui voting suara yang terbanyak. Makna voting dalam demokrasi yang dianggap tidak baiknya, karena memberikan ruang pilihan benar atau salah. Jika kesalahan yang dimenangkan oleh suara mayoritas maka ini akan menjadikan cambukan dalam mengelola negara maupun daerah.
Pada sisi lain kebaikan demokrasi ialah, sekumpulan manusia telah bisa memberikan opini maupun asumsi terhadap pejabat publik selama opini maupun asumsi tersebut biasa dipertanggung jawabkan di muka hukum. Selain itu juga, demokrasi bisa mengimbangi apabila penguasa telah bersifat otoriter dan monarki terhadap rakyatnya.
Wujud dari demokratisasi dalam masyarakat menginginkan kehidupan damai, sejahtera, aman dan keadilan inilah hakikat sebenarnya yang dinginkan oleh leluhur kita sebelumnya. Tidak tercapainya demokrasi yang hakiki bisa disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya ketidak cakapan pemerintahan dalam mengelola negara maupun daerah, serta telah matinya elemen sipil yang sebagai agent control terhadap kebijakan publik mereka telah banyak terlibat dalam ranah politik praktis. Ini sebuah ironi yang kroni terjadi dalam negara kita. Bagaimana kita ingin membangun komitmen Good Governance, jika semua telah terjebak pragmatisme politik, yang hanya memainkan intrik-intrik politik ataupun sandiwara belaka.
Kesadaran Demokrasi
Untuk membangun Aceh damai terkendali dalam pemilu 2014, ialah harus terbangun nilai kesadaran dan kesefahaman mengenai Aceh mau dibawa kemana. Pada prinsipnya dalam catatan sejarah tidak pernah Aceh lepas dari sejarah konflik, mulai awal masuknya Portugis, Belanda, Jepang, DII/TII dan GAM, ini mungkin sejarah yang tidak mungkin begitu cepat lupa bagi yang terlibat maupun bagi korban.
Karena daerah yang beradab tidak melupakan sejarah, karena sejarah masa lalu merupakan bahagian untuk bangkit meretas peradaban kedepan yang lebih baik bagi anak cucu. Karena kita ketahui 32 tahun Aceh dalam kemelut prahara perang antara RI dan GAM, mungkin ini banyak meninggalkan kisah pahit dan pilu yang sehingga hancurnya berbagai peradaban kemanusiaan, yang hanya timbul kemiskinan, kebodohan, dan ketertinggalan.
Hal wajar jika kita lihat dengan wilayah lain Aceh salah satu Provinsi yang masih tertinggal, Aceh berada di urutan ke-7 daerah dengan pendapatan perkapita tertinggi, tapi di sisi lain Aceh juga adalah daerah peringkat tujuh termiskin di Indonesia dengan angka kemiskinan sebesar 20,98%, dan IPM (Indeks Pembangunan Manusia) berada pada peringkat 18 dari 33 provinsi di Indonesia. (Bulman Satar, Opini, Harian Serambi Rabu, 27 Maret 2013), hal tersebut beralasan karena daerah korban perang dan konflik yang cukup lama, butuh waktu untuk bangkit, dan selain itu juga tidak selalu konflik pun jadi sebuah kambing hitam untuk menutup diri untuk lebih maju. Seharusnya pemerintah Aceh punya diagnosa untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang ada di Aceh.
Untuk mengembalikan situasi normal tidak semudah membalikkan telapak tangan untuk menghilangkan rasa pahit itu karena ini terbawa dalam psikologi orang Aceh dalam kehidupan kultur sosial masyarakat. Hal yang dapat kita fahami ketika dalam kompetisi politik terkesan keras dalam pertarungan politik antara satu partai dengan partai lainnya, baik Nasional mauapun lokal yang ada di Aceh. Karena masih dipengaruhi oleh kejiwaan perang yang akrab dengan senjata pada masa konflik, kini perang telah bermetamorfosis di arena politik praktis. Kultur teror dan intimidasi untuk tidak dapat terulang lagi pada pemilu 2014 nanti, harus merujuk pada prinsip nilai kemanusian yang di atur dalam piagam HAM yang diakui oleh dunia Internasional.
Prihatin kaum civil society hari ini, kini mereka banyak terjebak dalam politik praktis, walaupun haya bertopeng dengan kata independen. Keterlibatan kaum civil society yang terlibat politik praktis inilah membuat kondisi Aceh semakin carut marut, karena tidak ada lagi yang mengkritisi kebijakan maupun memberikan masukan kepada penguasa.
Untuk menyikapi hal tersebut pemerintah maupun elemen sipil dan untuk bersinergis untuk membangun policy terhadap kelanjutan demokrasi yang sehat di Aceh pada 2014 nanti, jika hal tersebut tidak dilakukan secara cepat maka ini akan mengancam kelangsungan kehidupan kemanusian, karena Aceh jauh masih dari harapan mengenai kesejahteraan maupun keadilan. Untuk mengimbangi kekuatan pertarungan politik 2014 nanti, masyarakat sipil dan pemerintah harus membagun kesadaran demokrasi untuk menjaga stabilitas politik di Aceh yang kondusif dari desa sampai kota.
*Penulis, Staf Pengajar di Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry Banda Aceh dan Pemerhati Sosial Politik Aceh.