REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Indra Abidin Nasri
(Ketua Lembaga Kajian Ekonomi untuk Pemberdayaan Masyarakat)
Kinerja buruk perusahaan selalu berkaitan dengan konflik antar pemegang sahamnya. Buruknya kinerja sebuah perusahaan selalu diikuti dengan pelanggaran terhadap prinsip akuntabilitas dan transparansi, sehingga menimbulkan ketidakpercayaan dan penuh curiga.
Dengan demikian, keterbukaan adalah keharusan yang fundamental dan perlu dimiliki oleh sebuah perusahaan bukan saja untuk menciptakan iklim kondusif bagi keuntungan perusahaan tetapi juga terutama menciptakan iklim investasi yang baik bagi sebuah negara. Konflik perusahaan yang berlarut tentu perpotensi pada anjloknya kepercayaan publik dan menurunnya kinerja investasi.
Sejumlah kasus konflik antarpemegang saham terjadi di Indonesia layak menjadi perhatian bersama. Apalagi kasus-kasus demikian seringkali harus menjalani kasus hukum yang berbelit-belit dan memakan waktu lama. Diantara kasus tersebut diantaranya adalah sengketa kepemilikan Televisi Pendidikan Indonesia yang sudah menjadi MNC TV antara Siti Hardiyanti Rukmana alias Tutut Soeharto dan Hary Tanoesoedibyo; begitu juga konflik antar pemegang saham BUMI yakni Bakrie, Samin Tan dan Rothschild; dan yang cukup hangat PT Sumalindo Lestari Jaya, Tbk. yag terjadi antara pemegang saham mayoritas (Putera Sampoerna dan Hasan Sunarko) dengan para pemegang saham minoritas.
Berbeda dengan dua kasus sebelumnya yang melibatkan antara dua pemegang saham besar. Kasus sengketa di Sumalindo cukup menarik perhatian karena melibatkan pemegang saham mayoritas sekaligus pendiri perusahaan (Sampoerna dan Sunarko), dengan pemegang saham minoritas (Deddy Hartawan Jamin).
Konflik di Sumalindo dipicu oleh anjloknya kinerja perusahaan, bahkan terus merugi setiap tahunnya. Padahal dalam laporan tahunan perusahaan patungan keluarga Sampoerna dan Sunarko pada 2012, total menguasai lebih dari 840 ribu hektare hutan alam dan 73 ribu hektar hutan tanaman industri (HTI).
Dengan kapasitas produksi kayu lapis hingga 1,1 jutameter kubik per tahun, Sumalindo menguasai lebih dari 30 persen pasar Indonesia dan termasuk lima besar produsen kayu di dunia. Sejak 1980-an, keluarga Hasan Sunarko sudah malang melintang di bisnis kayu dengan bendera Hasko Group dan PT Buana Alam Semesta. Adapun Sampoerna baru masuk ke industri hutan pada 2007 dengan mengibarkan bendera Samko Timber, Ltd di bursa Singapura.
Sebagai perusahaan raksasa pemegang hak penguasaan hutan terbesar, hal itu tentu bukanlah sebuah hal yang wajar. Indikator paling nyata adalah harga saham perusahaan yang pada 2007 senilai Rp 4.800, terjun bebas terjun bebas di kisaran Rp 100 pada 2012. Terkait hal tersebut, Deddy Hartawan Jamin, pemilik 336, 27 juta saham atau 13,6 persen, sejak awal mempertanyakan duduk soalnya kepada Direktur Utama Amir Sunarko bin Hasan Sunarko. Ketika itu, Direktur Utama hanya menjawab bahwa Sumalindo merugi karena dampak krisis ekonomi 2008. Sementara upaya untuk mendapat keterbukaan selalu kandas, bahkan di RUPS upaya ini selalu digagalkan melalui voting, karena manajemen mendapat dukungan dari pemegang saham mayoritas/pengendali.
Kenyataan bahwa selalu kalah dalam voting ketika meminta audit perusahaan, Deddy Hartawan Jamin akhirnya mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Ada dua hal yang dituntutnya, yakni audit terhadap pembukuan perusahaan dan audit dalam bidang industri kehutanan. Hasilnya, pada 9 Mei 2011 majelis hakim PN Jakarta Selatan mengabulkan permohonan tersebut. Upaya memperjuangkan keterbukaan ini sempat mendapat halangan dari Sumalindo dengan mengajukan Kasasi di MA, namun mendapat penolakan tahun 2012.
Selain persoalan tersebut, Deddy Hartawan Jamin marasa yakin untuk memperkarakan konflik tersebut ke meja hijau karena adanya sejumlah temuan penting, yakni: Pertama, pada laporan keuangan Sumalindo tercetak “Piutang Ragu-Ragu” tanpa ada penjelasan sedikit pun tentang siapa yang menerima utang tersebut.
Padahal selama ini laporan keuangan PT Sumalindo Lestari Jaya, Tbk diaudit oleh auditor Ernst & Young. Belakangan diketahui bahwa Piutang Ragu-Ragu tersebut adalah pinjaman tanpa bunga sama sekali yang diberikan kepada anak perusahaan Sumalindo, yakni PT Sumalindo Hutani Jaya (SHJ) mencapai lebih dari Rp 140 miliar sejak 1997.
Kejanggalan kedua, adalah terkait pernyataan Direktur Utama kepada Pemegang Saham Publik Minoritas bahwa PT Sumalindo Hutani Jaya telah dijual kepada PT Tjiwi Kimia Tbk. Selain tidak memiliki manfaat sama sekali bagi Sumalindo, penjualan tersebut dinilai sangat merugikan. Pada 1 Juli 2009, SHJ telah menerbitkan Zero Coupon Bond (surat utang tanpa bunga) atas utangnya kepada Sumalindo sebesar 140 miliar lebih, untuk jangka waktu satu tahun.
Atas dasar itulah, bisa dikatakan arah dan tujuan penjualan anak perusahaan ini cukup mencurigakan. Pada 15 Juli 2009, tak lama setelah surat utang diterbitkan, Sumalindo dan pabrik kertas Tjiwi Kimia menandatangani akta pengikatan jual beli. Selain memberi uang muka, Tjiwi Kimia membayar kepada Sumalindo dengan cara mencicil selama tiga tahun, sebagian lainnya dibayar dengan kayu hasil tebangan yang ada di areal eks lahan SHJ. Penentuan nilai aset SHJ pun sarat kongkalikong, karena penilaian hanya didasarkan atas saham dan besaran utang kepada Sumalindo. Padahal, banyaknya pohon yang ada di areal SHJ pun seharusnya masuk dalam perhitungan aset.
Ketiga, Surat Menteri Kehutanan yang menyetujui penjualan SHJ kepada Tjiwi Kimia patut dipertanyakan. Menteri Kehutanan merilis surat persetujuan pengalihan saham tersebut tertanggal 1 Oktober 2009. Padahal Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) yang mengagendakan penjualan SHJ baru dilangsungkan pada 15 Oktober 2009.
Apalagi dalam salah satu klausulnya, ditegaskan bahwa jika terjadi sengketa di antara pemegang saham, maka hal tersebut menjadi tanggung jawab perusahaan dan tidak melibatkan Kementerian Kehutanan.