Jumat 22 Nov 2013 17:06 WIB

Penyadapan Australia dan Sikap Kita

Massa gabungan sejumlah ormas berunjuk rasa di depan Kedubes Australia, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (21/11).  (Republika/Adhi Wicaksono)
Massa gabungan sejumlah ormas berunjuk rasa di depan Kedubes Australia, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (21/11). (Republika/Adhi Wicaksono)

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Budi Kurniawan*

Terbongkarnya skandal penyadapan terhadap Presiden, Ibu Negara, dan sejumlah menteri membuat  hubungan Indonesia-Australia kembali mengalami ketegangan. Sebuah situasi yang sebenarnya sangat disayangkan ketika dua negara ini sedang berada dalam hangatnya persahabatan sebagai tetangga.

Ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dilantik menjadi presiden, Canberra menunjukkan iktikad baiknya dengan kehadiran Perdana Menteri John Howard di acara pelantikan, suatu tradisi baru yang positif. Presiden SBY pun diundang untuk berbicara di Parlemen Australia, sebuah undangan yang sangat terhormat dari sedikit kepala negara terpilih yang pernah diundang pada era pertama pemerintahan Kevin Rudd.

Ketika PM Julia Gillard terpilih, ia pun memilih Indonesia sebagai negara yang pertama ia kunjungi sebagai kepala pemerintahan. Dan, tradisi inipun dilanjutkan oleh penerusnya yakni perdana menteri yang baru, Tony Abbot, baru-baru ini. Dapat dikatakan bahwa pemerintahan SBY saat ini adalah pemerintah yang paling dekat hubungannya dengan Australia sejak era Paul Ketting dan Pak Harto.

Namun, hubungan tersebut akhir-akhir ini berada di titik terendah lagi setelah pemerintah Koalisi Liberal pimpinan Perdana Menteri Tony Abbot diam seribu bahasa terhadap isu penyadapan yang dilakukan atas perintah sekutu mereka, Amerika Serikat. Publik negara Australia pun terpecah.  Ada yang mengecam terutama dari pihak oposisi, yang melihat seharusnya Indonesia didekati sebagai mitra strategis, tetangga terdekat dari utara, pemimpin ASEAN, dan negara yang memiliki kekuatan ekonomi terbesar di Asia selain Cina dan India. Pendapat pertama ini datang dari akademisi kritis dan pendukung partai oposisi yakni Partai Buruh.

Ada yang menganggap penyadapan adalah hal yang biasa dan wajar, sewajar seperti hidup bertetangga yang dimaklumi jika tetangga ingin tahu apa yang dilakukan tetangga sebelah. Pendapat terakhir ini adalah kira-kira suara pendukung partai koalisi yang sedang berkuasa. Sikap kedua inilah yang dipilih Pemerintah Australia saat ini.

Sikap Pemerintah Australia ini menunjukkan bukti bahwa Australia bukanlah partner yang setara dalam diplomasi, bukan pula tetangga yang baik, tetapi Australia adalah wakilnya polisi dunia Amerika Serikat di kawasan Asia Pasifik. Tanggapan PM Tony Abott yang cenderung menganggap peristiwa ini sebagai kewajaran adalah juga bukti bahwa Australia bukanlah Asian looking country, tetapi orang Barat yang tinggal di kawasan selatan.

Ini juga bukti bahwa masih ada kecurigaan yang besar terhadap Indonesia yang dianggap mengancam Australia di benak pengambil kebijakan di negeri kangguru itu. Tetapi, tentulah mereka tidak tahu bahwa sikap itu justru merugikan mereka.

 

Kepentingan Australia akan terhambat jika Pemerintah Indonesia berani keras dalam isu manusia perahu, misalnya. PM Abbot dalam kampanye selama pemilu yang lalu selalu menjanjikan menyelesaikan masalah imigran gelap yang menggunakan perahu ini sebagai kebijakan yang harus dituntaskannya. Nah, untuk itulah mengapa Indonesia penting bagi Australia.

Dengan adanya kasus ini tentu saja Australia akan kesulitan bernegosiasi dengan Indonesia untuk mencegah para imigran gelap memasuki wilayah mereka. Mau tidak mau, Pemerintah Australia harus melibatkan Indonesia dalam masalah ini.

Kepentingan yang lain adalah kepentingan dagang. Indonesia adalah pasar utama peternak sapi Australia. Ketika Kementerian Pertanian membatasi kuota impor daging sapi, peternak Australia mengalami kerugian yang besar.

Kepentingan Indonesia yang paling besar dengan Australia adalah masalah stabilitas dan dukungan politik dalam menyelesaikan masalah konflik di Papua. Isu Papua adalah isu yang mudah bagi Pemerintah Australia untuk dijadikan kartu truf penting yang bisa dimainkan dalam perundingan-perundingan penting dengan Indonesia. Bisa dikatakan isu Papua inilah yang menjadi ganjalan utama bagi Indonesia dalam perundingan-perundingan internasional.

Sikap Pemerintah Indonesia yang menggalang kekuatan bersama negara lain seperti Jerman yang juga dirugikan dalam kasus penyadapan ini patut diapresiasi. Kasus ini harus dikapitalisasi agar menjadi concern bersama dunia internasional untuk mendesak Pemerintah Amerika dan sekutunya tidak hanya berkata halus di meja diplomasi namun menelikung di luar.

Presiden harus turun tangan untuk mendesak Pemerintah Australia meminta maaf dan jika tidak, Indonesia berhak mengusir dubes Australia di Jakarta sebagai reaksi keras akan masalah ini.  Penarikan Dubes RI di Canberra patut kita apresiasi.

Reaksi akan penyadapan ini harus pada level presiden bukan pada level menlu apalagi juru bicara. Presiden jangan sampai dikritik hanya berani pada isu pribadi seperti isu Bunda Putri ketimbang isu publik yang menyangkut kedaulatan negara.

Contohlah Angela Markel, wanita kanselir dari Jerman. Dia dengan tegas meminta klarifikasi Inggris dan Amerika akan isu penyadapan ini. SBY sebenarnya punya modal yang kuat untuk berani mendesak Australia dan menyadarkan publik Australia bahwa Indonesia bisa marah jika tetangganya berlaku bak asisten sherif di Asia. Tentu saja bahasa konfrontasi seribu persen penting untuk bahasa diplomasi bukan saja untuk masalah pribadi.

*Pengajar di Jurusan Hubungan Internasional Universitas Lampung, Alumni Australian National University Canberra

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement