REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Abdul Hakim
Baru-baru ini dikabarkan Wali Kota Bengkulu Helmi Hasan menjanjikan kepada warganya yang mau menjalankan shalat Zuhur berjamaah selama 40 hari berturut-turut akan mendapatkan hadiah mobil Innova serta haji dan umrah ke Tanah Suci.
Menurut Wali Kota, tawaran tersebut didasarkan atas keprihatinan beliau dengan melihat kondisi masyarakat di daerahnya, khususnya ketika melihat keadaan masjid-masjid yang sangat sedikit jamaahnya, khususnya pada waktu Zuhur.
Program shalat berhadiah yang dicanangkan Wali Kota Bengkulu itu tampaknya cukup menarik perhatian banyak pihak. Iming-iming hadiah itu mendorong euforia masyarakat mengikuti tawaran dari Sang Wali Kota dalam menjalankan ibadah shalat berjamaah di masjid.
Namun demikian, program Sang Wali Kota yang cukup kontroversial itu, meski didasarkan atas niat baik, karena hal itu berkaitan dengan pelaksanaan ibadah, tentu perlu dipertanyakan keabsahannya.
Terlebih untuk pelaksanaan ibadah khusus seperti shalat, yang merupakan hubungan vertikal seorang hamba dengan Tuhannya, yang memiliki syarat-syarat khusus yang akan menentukan diterima atau tidaknya ibadah tersebut.
Peringkat ibadah
Diriwayatkan Khalifah Ali bin Abi Thalib ra, Sekelompok manusia beribadah dengan harapan mendapatkan pahala dan ganjaran. Inilah ibadah para pedagang.
Sekelompok lainnnya beribadah karena takut kepada siksa. Inilah ibadah para budak. Sekelompok orang beribadah untuk bersyukur kepada Allah. Inilah ibadah orang-orang yang merdeka.
Dari pernyataan Sayyidina Ali tersebut ada beberapa hal yang kita dapatkan sebagai pelajaran. Pertama, peringkat tertinggi dalam beribadah itu adalah karena rasa syukur dan cinta kepada Allah SWT, sebagai pencipta dan pengatur alam semesta.
Dan manusia sebagai makhluk yang dipercaya sebagai Khalifah Allah di alam ini, akan menerima keridaan Tuhan ketika ia memasrahkan seluruh amal dan ibadahnya hanya karena dan kepada Allah semata-mata.
Peringkat kedua, mereka yang beribadah karena adanya hadiah yang dijanjikan Allah berupa kenikmatan surga, sebagaimana yang tercantum dalam Alquran.
Ibadah seperti ini tentu nilainya lebih rendah, karena seperti halnya pedagang mereka hanya mengharapkan keuntungan dan kecenderungan kepada hal-hal yang besifat materi. Ketiga, mereka yang beribadah karena takut kepada hukuman Tuhan.
Peringkat ini lebih rendah lagi dibanding mereka yang menjalankan ibadah karena rasa syukur dan mengharapkan surga Allah. Mereka ketika beribadah sekadar untuk menjalankan kewajiban dan karena rasa takutnya akan siksaan api neraka di akhirat nanti.
Motivasi shalat
Ada hadis terkenal dari Nabi SAW yang menyatakan, Sesungguhnya setiap amal itu bergantung kepada niat dan bagi setiap orang apa yang diniatkannya.
Barang siapa yang berhijrah karena Allah dan Rasul, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul. Barang siapa yang hijrahnya karena dunia yang diusahakannya atau karena wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah untuk apa yang diniatkannya. (HR Bukhari dan Muslim)
Kalau kita mendasarkan pada keterangan hadis ini, orang-orang yang shalat berjamaah karena mengharapkan hadiah mobil, haji, dan umrah, tentunya hanya akan mendapatkan apa yang mereka niatkan.
Sedangkan shalatnya dapat diduga tidak akan diterima Allah SWT. Bukankah shalat sebagaimana amal ibadah lainnya, harus kita niatkan karena Allah dan untuk mendekatkan diri kepada-Nya semata.
Bahkan, lebih jauh lagi ibadah seperti itu bisa dikategorikan sebagai riya yang sangat dikecam dalam agama, seperti yang tercantum di dalam surat al-Maun.
Karena dengan mengikuti program seperti itu, yang ada dalam pikiran para jamaah adalah bagaimana bisa memenuhi syarat penilaian yang telah ditetapkan wali kotanya, agar mendapatkan hadiah yang dijanjikan. Dengan demikian ibadah yang dijalankan umat akan sangat bercorak materialistis dan duniawi.
Dengan melihat fenomena seperti itu, yang kita dapatkan hanyalah keramaian dan keriuhan di masjid, namun jauh dari nilai-nilai ruhani yang seharusnya dicapai dalam pelaksanaan suatu ibadah.
Karena, hampir setiap orang menjadi rajin beribadah shalat berjamah, hanya karena iming-iming hadiah. Bukankah ibadah shalat tujuannya untuk mengingat Allah dan mencegah manusia dari melakukan perbuatan jahat dan mungkar?
Karena itu, peranan para ulama sangat diharapkan untuk menyadarkan umat Islam mengenai apa sesungguhnya arti dan tujuan sebuah ibadah.
Umat juga harus dicerdaskan dalam urusan agama, apalagi yang menyangkut pelaksanaan ibadah, khusus seperti shalat, mereka harus bertanya dan merujuk kepada alim ulama yang berkompeten dan bukannya kepada para pejabat negara.
Demikian pula, para pejabat negara, hendaknya janganlah berusaha memanipulasi ajaran-ajaran agama yang suci untuk kepentingan popularitas dan kelangsungan kekuasaan mereka.
Sebab, kalau itu yang terjadi, alih-alih menegakkan moralitas dan kebaikan, nyatanya kerusakan mental dan spiritual masyarakat yang akan semakin menjadi.
*Khadim di STAI Madinatul Ilmi, Depok