Senin 03 Mar 2014 10:40 WIB

Dua Pilar Peradaban

Prof Dr KH Didin Hafidhuddin
Foto: Republika/Agung Supriyanto EXIF Data :
Prof Dr KH Didin Hafidhuddin

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Prof Dr KH Didin Hafidhuddin

Abdul Kadir Audah, seorang penulis produktif berkebangsaan Mesir, menulis sebuah buku dengan judul Al-Muslimu Baina Jahli Abnaaihi wa 'Azzi  'Ulamaaihi (kaum muslimin di antara kebodohan umatnya dan kelemahan para ulamanya).

Buku ini merupakan jawaban terhadap pertanyaan kenapa kaum muslimin mengalami kemunduran dalam berbagai bidang kehidupannya, sementara orang-orang non-muslim mengalami kemajuan yang signifikan (paling tidak secara fisik material).

 

Pertama, karena kebodohan umat. Secara jujur harus kita akui, pengetahuan mayoritas umat Islam terhadap ajarannya masih sangat minim. Masih banyak kelemahan yang mendasar dan elementer. Masih banyak yang belum bisa membaca Alquran.

Penulis pernah melakukan suatu penelitian terhadap mahasiswa baru sebuah perguruan tinggi tentang kemampuan membaca Alquran. Hasilnya sangat memprihatinkan, hanya 28 persen yang bisa membacanya.

Demikian pula pengetahuan yang berkaitan dengan ibadah pokok, seperti shalat, zakat, shaum dan ibadah haji. Apalagi pengetahuan yang berkaitan dengan berbagai konsep dalam berbagai bidang kehidupan, yang ditawarkan ajaran Islam.

Masih banyak yang awam tentang konsep pendidikan yang islami, konsep ekonomi syariah, konsep keluarga sakinah, konsep politik dan budaya, maupun konsep berbangsa dan bernegara.

Karena itu tidaklah mengherankan, jika ada umat Islam atau mungkin juga sebagian orang yang dianggap tokoh, misalnya masih ragu dengan ekonomi syariah.

Kondisi ini diperparah oleh kemalasan umat dalam membaca berbagai buku ilmu pengetahuan, termasuk buku agama.  Di negara kita sebagai contoh, minat baca masyarakat masih sangat rendah. Saat ini tercatat angka rata-rata satu buku dibaca sekitar 80.000 penduduk.

Data Susenas 2012 menjelaskan membeli buku belum menjadi skala prioritas kebutuhan masyarakat.  Karena itu, perlu ada gerakan bersama membangun kesadaran masyarakat mencintai buku, sekaligus kegiatan membaca.

Di sinilah kita melihat arti penting dari pameran buku yang diselenggarakan setiap tahun di negara kita. Tahun ini, Islamic Book Fair (IBF) diselenggarakan mulai tanggal 28 Februari sampai dengan 9 Maret 2014.

Kegiatan tahunan ini diharapkan bukan hanya sebagai destinasi wisata dan belanja buku buku Islam yang ditunggu oleh masyarakat luas, tetapi juga memiliki resonansi sosial dalam rangka membangun kecintaan membaca pada seluruh masyarakat.

Karena sesungguhnya budaya membaca ini memiliki persinggungan yang kuat dengan budaya menulis. Dalam peradaban Islam pengembangan budaya baca dan tulis atau budaya literal  mendapat perhatian yang sangat besar.

Sebagaimana kita ketahui pada wahyu pertama yang diterima Rasululullah SAW, yaitu surat Al-Alaq (96) ayat 1-5 “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”

Jika minat baca dan menulis berkembang secara masif di kalangan umat, kebodohan sedikit demi sedikit bisa direduksi, bahkan mungkin bisa dihilangkan.

Jadilah umat kita umat yang paham dan cerdas terhadap ajaran agamanya, sekaligus berusaha mengamalkannya di tengah-tengah kehidupannya. Perpaduan antara pengetahuan dengan pengamalan akan melahirkan keyakinan.

Dan inilah makna dari firman Allah sebagaimana terdapat dalam surat Al Hujurat (49) ayat 15: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.

Kedua, karena kelemahan para Ulama. Di dalam Alquran terdapat dua ayat yang menjelaskan tentang sifat, watak dan karakter seseorang atau sekelompok orang dinyatakan sebagai Ulama.

Yaitu surat Asy-Syuara (26) ayat 197 “Dan apakah tidak cukup menjadi bukti bagi mereka, bahwa para ulama Bani Israil mengetahuinya?” dan surat Faathir (35) ayat 28 “Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” 

Dari kedua ayat ini bisa disimpulkan, para Ulama adalah orang yang memiliki pengetahuan keislaman yang mendalam yang berbeda dari masyarakat umum lainnya,  sehingga menjadi tempat bertanya dalam berbagai bidang kehidupan.

Sekaligus orang yang bisa dipercaya umat, karena memiliki sifat dan karakter yang terpuji, terlibat aktif dalam memecahkan persoalan persoalan keumatan dan kebangsaan.

Memiliki keberanian, untuk menyatakan yang hak itu adalah hak, dan yang batil itu adalah batil. Takut dan khasyah-nya hanya kepada Allah SWT, yaitu takut melanggar aturan-Nya.

Dalam sebuah hadits sahih dari Anas, Rasulullah SAW bersabda, para ulama adalah orang orang yang mendapatkan amanah dan kepercayaan para Rasul (Umanaa Ar Rusuli) selama tidak menjadikan kekuasaan dan dunia sebagai tujuan utama hidupnya. Apabila kedua hal tersebut (kekuasaan dan dunia/materi) sudah dijadikan sebagai tujuan hidupnya  maka sesungguhnya mereka (para ulama itu) sudah mengkhianati para Rasul. Berhati-hatilah terhadap mereka.

Dalam perspektif Alquran dan hadits tersebut, kiai, ustaz, para penceramah/dai tidak selalu identik dengan para ulama, apalagi kalau tidak tecermin dari perilaku kesehariannya.

Ulama selalu menjaga muruah (akhlak dan kepribadiannya) sehingga umat bukan sekadar mendengar ceramah dan nasehatnya, akan tetapi melihat nyata dari perilaku kesehariannya.

Perpaduan antara ulama yang khasyyah kepada Allah yang dekat dengan umat dan selalu membimbing mereka, dan umat yang cerdas dan paham ajaran agamanya yang juga diamalkan dalam kehidupan kesehariannya, itulah dua pilar utama peradaban Islam, sekaligus menjawab pertanyaan mendasar sebagaimana tersebut di atas, kenapa umat Islam mengalami kemunduran, sedangkan umat lain mengalami kemajuan.

Meskipun pada saat sekarang, kaum muslimin sedang dihadapkan pada berbagai persoalan yang berat dan kompleks, tetapi tidak boleh menghentikan atau menghambat cita-cita kita bersama, terbangunnya kembali peradaban Islam dengan dua pilar utama tersebut. Wallahu Alam bi ash-shawab.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ لَا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطٰنُ كَمَآ اَخْرَجَ اَبَوَيْكُمْ مِّنَ الْجَنَّةِ يَنْزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْاٰتِهِمَا ۗاِنَّهٗ يَرٰىكُمْ هُوَ وَقَبِيْلُهٗ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْۗ اِنَّا جَعَلْنَا الشَّيٰطِيْنَ اَوْلِيَاۤءَ لِلَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ
Wahai anak cucu Adam! Janganlah sampai kamu tertipu oleh setan sebagaimana halnya dia (setan) telah mengeluarkan ibu bapakmu dari surga, dengan menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan aurat keduanya. Sesungguhnya dia dan pengikutnya dapat melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman.

(QS. Al-A'raf ayat 27)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement