REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Prayudhi Azwar/ Mahasiswa Doktoral bidang Ekonomi, University of Western Australia; Casual Lecturer di University of Western Australia
Ekonom asing dan para analis lokal bank asing terlihat berupaya meyakinkan masyarakat pemilih Indonesia bahwa jika salah satu calon presiden RI menang maka IHSG dan nilai tukar Rupiah akan jeblok. Sebagian pengamat politik menjadikan ini sebagai acuan dalam mendukung atau menghindari calon pesiden tertentu.
Padahal, siapapun Presiden yang diyakini rakyat akan dapat mengemban tugas kenegaraan dengan baik. Bahkan calon yang mendapatkan sentimentnegatif, dalam hal ini Prabowo Subianto, sepanjang komitmennya terhadap kemandirian bangsa dilaksakan, justru dapat meraup keuntungan dari sentimen negatif ini.
Harga saham yang melemah temporer berpotensi membuka peluang bagi rakyat Indonesia memiliki saham-saham perusahaan yang melantai di bursa dengan harga yang lebih murah. Nilai tukar yang sementara melemah membuka peluang penguatan daya saing ekspor produk Indonesia di luar negeri. Efek negatif tersebut hanya akan bersifat temporer. Meski sifatnya simbiosis mutualisme, saling menguntungkan, namun investor asing sejatinya lebih membutuhkan Indonesia daripada Indonesia membutuhkan mereka.
Di tengah memburuknya kinerja ekonomi US dan Eropa, investor asing tidak memiliki lagi alternative outlet yang memberikan keuntungan tinggi bagi setiap dolar yang mereka tanamkan. Bahkan, mereka tidak akan berani meninggalkan pasar Indonesia yang semakin dinamis dan bergairah (vibrant), yang didominasi generasi muda dalam struktur populasi 250 juta rakyat Indonesia.
Dengan demikian, pengamat politik dan masyarakat bukan hanya sebaiknya tidak terpengaruh oleh sinyalemen negatif tersebut. Tapi lebih menggali kapasitas calon presiden yang siap membangun kemandirian bangsa. Kemandirian yang bertumpu pada optimalisasi SDA Indonesia yang kaya dan SDM yang berkualitas serta infrastruktur dan iklim usaha yang sehat.
Terdapat serentetan peluang bagi peningkatan pendapatan negara, seperti renegosiasi, pembangunan pabrik pengolah SDA. Renegosiasi kontrak gas tangguh saja telah mampu menghasilkan tambahan Rp250Triliun bagi pendapatan negara, yang tentu dapat digunakan bagi peninkatan basis produksi bagi produk-produk dalam negeri.
Apalagi bila skema menutup kebocoran ini dapat terus dikembangkan. Hal tersebut akan membuat daya saing sekaligus pendapatan perkapita rakyat Indonesia meningkat lebih cepat, dan pada gilirannya akan mendorong investasi masuk lebih deras ke tanah air.
Tantangan otoritas adalah mempercepat pendalaman pasar keuangan, sehingga keputusan politik rakyat Indonensia tidak dapat dipengaruhi oleh segelintir pemilik modal kaya, yang dipastikan berasal luar Indonesia. Tantangan bagi rakyat Indonesia nadalah bagaimana cermat dalam memilih pemimpin dengan kapabilitas memelihara stabilitas sosial, geopolitik, dan ekonomi dalam jangka panjang. Disamping tentunya memiliki ketegasan sikap dalam menutup kehilangan pendapatan dari SDA yang kaya dan mampu menutup kebocoran anggaran dan mengikis praktik ekonomi berbiaya tinggi.
Prayudhi Azwar
Perth, 8 Juli 2014