Oleh: Asep Sapa’at, Praktisi Pendidikan, Pemerhati Karakter Guru di Character Building Indonesia
Teachers learn through social interaction around problems of practice and... the enhancement of teaching learning requires support for collegial interaction where teachers can work on new practices (Elmore, 2002)
REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Menteri Anies Baswedan tegas menyatakan mengganti kurikulum tak otomatis meningkatkan kualitas pendidikan. Karena kunci utama keberhasilan ada di tangan guru, maka kualitas guru musti dikembangkan terlebih dulu. Caranya? Bukan dengan training atau penataran guru. Karena cara itu tak efektif dan tak menjanjikan perubahan apapun pada diri guru (Republika Online, 8 Desember 2014).
Lantas, bagaimana cara terbaik membina para guru agar berkarakter pembelajar? Inilah tantangan nyata yang harus disikapi Menteri Anies. Sungguh-sungguhkah pemerintah akan membenahi program pengembangan profesional guru?
Kesungguhan hanya bisa dijalankan bila kita punya komitmen. Komitmen pada apa? Pada tujuan yang jelas. Apakah pemerintah punya tujuan yang jelas untuk meningkatkan kualitas guru? Kesungguhan juga hanya bisa berjalan bila konsisten.
Konsisten pada apa? Pada tujuan yang telah dicanangkan. Apakah program-program yang dirancang relevan dan konstan dilakukan demi terciptanya guru berkualitas? Komitmen dan konsistensi, 2K yang kerap jadi persoalan kita.
Bak menyiapkan makanan cepat saji, pelatihan guru kerap digelar sangat singkat. Tak jarang, waktu pelaksanaan dipercepat pula. Terjadwal 7 hari, faktanya dihelat kurang dari 7 hari. Tema pelatihan diseragamkan dan caranya pun kerap menempatkan guru sebagai objek pelatihan. Duduk, diam, catat, dengar, dan pulang membawa sertifikat pelatihan.
Benjamin Franklin punya filosofi. “Tell me and I forget. Teach me and I remember. Involve me and I learn”. Dampak dari pelatihan yang bersifat top-down tak akan pernah bisa menumbuhkan karakter pembelajar pada diri guru. Akhirnya, guru hanya sekadar tahu materi pelatihan.
Tapi tak paham apalagi terampil menerapkan di ruang kelas. Maka lagu lama terus berulang pasca pelatihan, “Aku masih seperti yang dulu.” Potret kualitas pembelajaran hampir tak pernah berubah jadi lebih baik.
Prof. Cheng dalam kajiannya Teacher Education for The Future: Reforms and New Learning in the Asia Pacific (2010) menyatakan ada perubahan paradigma bagaimana cara guru belajar. Terjadi pergeseran dari paradigma pembelajaran tradisional (reproduced learning) ke pembelajaran era baru (individualized learning). Sebagian besar model pelatihan guru di Indonesia saat ini masih tergolong tradisional.
Cirinya, guru harus manut pada arahan instruktur, programnya standar dari pusat, dan guru berfokus untuk menyerap sebanyak-banyak pengetahuan yang disajikan di sesi pelatihan. Sedangkan pembelajaran era baru lebih menitikberatkan pada program individu, guru sebagai subjek pembelajaran, proses aktualisasi diri, pembelajaran regulasi diri (self-regulated learning), dan berfokus pada upaya bagaimana cara guru belajar.
Mempertahankan praktik pelatihan dengan model tradisional jelas merupakan kemunduran luar biasa. Revolusi mental guru tak terbenahi. Terutama mental ketidakmandirian karena terbiasa ‘disuapi’ dan mandek untuk belajar.
Dalam konteks pengembangan profesional guru, pelatihan hanyalah salah satu pilihan strategi saja. Sebenarnya ada cara lain yang lebih efektif dilakukan, tapi sayang tak jadi pilihan kebijakan. Mampukah pemerintah mendorong terciptanya komunitas belajar produktif di antara sesama rekan guru di level sekolah? Pelatihan guru jadi stimulan di awal.
Sifatnya in-house training. Guru tak harus meninggalkan sisiwa di sekolah karena pelatihan bisa digelar di hari sabtu atau ahad. Rutin sebulan sekali, misalnya. Pasca pelatihan, kepala sekolah memonitor perkembangan level kompetensi guru melalui supervisi pembelajaran yang berkelanjutan.
Dan, semua keberhasilan dan kesulitan yang dialami guru dalam situasi pembelajaran menjadi menu diskusi di forum komunitas belajar guru. Kepala sekolah tampil memimpin forum tersebut. Bukan menghilang apalagi melarikan diri.
Mengapa komunitas belajar penting penting dikembangkan? Darling-Hammond (1993) menyatakan bahwa para guru harus difasilitasi agar terlibat secara sadar dalam proses saling belajar dan berkolaborasi dalam memecahkan persoalan nyata yang mereka alami di sekolah melalui komunitas belajar profesional (professional learning community). Mereka harus intens merasakan atmosfer belajar di antara sesama rekan guru.
Mereka bisa saling mengobservasi pembelajaran satu sama lain, berdiskusi, dan merefleksikan pengalaman mengajar mereka masing-masing. Jejaring komunitas belajar yang terbentuk bisa membangun kolegialitas yang baik diantara sesama guru.
Yang paling penting, sikap kemandirian belajar guru semakin terlatih. Pertanyaannya, apa syarat penting yang harus dipenuhi agar komunitas belajar profesional guru bisa konsisten berjalan di level sekolah? Kepemimpinan sekolah yang hebat.
Kabar buruknya, berdasarkan pemetaan dari Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Kepala Sekolah Kemendikbud menyatakan, kompetensi kepala sekolah di 31 provinsi rendah pada kompetensi sosial dan supervisi (Kompas, 7 Desember 2012). Tanpa kompetensi supervisi yang handal dari kepala sekolah, apa yang bisa diharapkan guru-guru dalam pengembangan kapasitas profesional mereka? Guru-guru butuh figur pemimpin dan teladan yang mendorong terciptanya kreativitas, inovasi dan semangat belajar tiada henti.
Kepemimpinan kepala sekolah adalah hal esensial. Syarat mutlak penentu keberhasilan dalam upaya membangun komunitas belajar profesional guru. Karena kepemimpinan yang efektif bisa mengembangkan pemahaman mendalam bagaimana cara mendukung kinerja guru, menata kurikulum untuk meningkatkan hasil belajar siswa, dan mentransformasi sekolah sebagai organisasi efektif yang mampu membangun kapasitas belajar guru yang berdampak pada peningkatan kualitas pembelajaran bagi seluruh siswa (Davis, Darling-Hammond, LaPointe & Meyerson, 2005).
Banyak guru dan kepala sekolah berhasil meniti karir profesionalnya karena diawali dengan kekeliruan. Namun, lebih banyak guru dan kepala sekolah yang terkulai karena tidak pernah melangkah. Kesungguhan untuk berbenah, itulah yang utama. Kesungguhan untuk lakukan perbaikan, itu yang membuat banyak orang kemudian jadi berhasil.
Kesungguhan itulah yang harus dicari. Banyak guru dan kepala sekolah bekerja tapi hanya bekerja saja. Masuk pagi pulang sore. Rutin kerja seolah sudah cukup. Bila diminta memilih ‘rajin atau malas’, pilihannya mending malas. Alasannya menyedihkan. Rajin atau malas, gajinya tetap sama.
Jika sadar pelatihan guru tak mampu mengubah cara guru berpikir dan mengajar, maka ada yang salah dengan cara pemerintah membina guru. Guru terlalu banyak ‘diajari’, jarang diajak sama-sama ‘belajar’. Tujuan dan desain pelatihan yang selama ini keliru harus dirombak total. Tujuan pelatihan bukan sekadar terlaksana, tapi harus punya indikator tujuan yang jelas dan terukur. Begitu pun dengan persoalan terkait kepala sekolah.
Tak ada kompromi dengan standar kualitas kompetensi kepala sekolah. Karena dampaknya mempengaruhi performa kinerja guru dan hasil belajar siswa. Upaya pengembangan komunitas belajar profesional guru di level sekolah harus mulai serius dikembangkan. Satu muaranya, kepemimpinan kepala sekolah bisa teruji dan karakter guru sebagai pembelajar makin terbina.
Menteri Anies punya banyak pilihan strategi untuk meningkatkan kualitas guru. Yang penting harus jelas tujuannya. Seperti pemikiran W. Edwards Deming yang mengatakan, “It is not enough to do your best. You must know what to do, and then do your best”. Tanpa komitmen dan konsistensi mencari cara agar kualitas guru meningkat, siap-siap saja cita-cita mem-VIP-kan guru-guru Indonesia akan berakhir di ujung lidah. Semoga tak terjadi.