REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Bayu A. Yulianto
Di luar semua kementrian yang berada di bawah koordinasi Kemenko Kemaritiman, ada empat lembaga lagi yang menurut hemat saya relevan untuk juga dikaitkan dengan pilar poros maritim.
Lembaga pertama adalah Kementrian Luar Negeri dengan Mentrinya Retno Lestari. Kementrian ini seharusnya sudah mulai merumuskan apa yang dimaksud Jokowi dengan Diplomasi Maritim.
Keinginan Presiden Jokowi untuk melakukan politik luar negeri yang berbasiskan diplomasi maritim seharusnya segera disambut oleh Kementrian Luar Negeri dengan membangun konsep tersebut mengacu pada Undang Undang No. 17 tahun 1985 tentang pengesahan UNLOS 1982.
Penetapan konsep diplomasi maritim yang jelas diharapkan dapat lebih mempermudah Indonesia dalam bernegosiasi dengan negara-negara lain yang secara geopolitik memiliki keterkaitan dengan pembangunan poros maritim tersebut.
Sementara itu, lembaga yang kedua adalah Kementrian Pertahanan. Kementrian yang dikomandoi Ryamizard Ryacudu ini sudah selayaknya melihat poros maritim sebagai satu constraint penting dalam membangun kekuatan pertahanan nasional.
Dalam kaitan ini, kekuatan pertahanan nasional bukan hanya menyangkut alutsista dan sumberdaya manusia, tetapi yang jauh lebih mendasar adalah persoalan doktrin pertahanan negara itu sendiri.
Persoalannya, doktrin pertahanan negara yang mengacu pada Undang Undang No. 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, beserta perangkat perundangan turunannya masih belum banyak mengakomodir prinsip-prinsip pertahanan laut yang ideal.
Hal ini seharusnya menjadi catatan penting jika Kementrian Pertahanan hendak menjawab ajakan Presiden Jokowi dalam mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia.
Yang ketiga dan keempat, adalah Kemendikbud dan Kemenko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Dua lembaga itu sangat terkait dengan kehendak pemerintahan baru untuk membangun budaya maritim Indonesia. Inilah agenda pokok dari mengembalikan kejayaan maritim nusantara yang secara historis pernah kita alami.
Kesadaran sejarah untuk mengembalikan budaya maritim yang telah terdegradasi harus direspon dengan agenda-agenda kebudayaan yang jelas dan kongkrit, terutama oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kemenko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan.
Problemnya, sampai hari ini, baik Mentri Anies Baswedan, maupun Mentri Puan Maharani sama sekali belum menyentuh persoalan kemaritiman dalam gugus tugas mereka. Tanpa pembicaraan dan diskusi yang intens dengan berbagai kalangan baik budayawan maupun intelektual, rencana membangun kebudayaan maritim Indonesia seperti mimpi di siang bolong.
Semua persoalan ini bisa saja langsung dialamatkan kepada Jokowi sebagai Presiden RI. Apa yang diidealkan tentang poros maritim dunia beserta segala macam konsekuensinya seharusnya dapat ditransfer dengan baik kepada para pembantunya.
Demikian juga sebaliknya, kehandalan para pembantu presiden, terutama inner circle dari Presiden Jokowi untuk menerjemahkan gagasan poros maritim nampak tidak memadai. Dengan keadaan yang sedemikian, akan sulit bagi Jokowi untuk bisa mendorong Indonesia sebagai poros maritim dunia. Hal ini terbukti dalam seratus hari pemerintahannya.
Kita semua berharap agar pemerintah bisa membawa kebaikan bagi rakyat secara keseluruhan. Program seratus hari meskipun tidak ada imperatif legalnya, tetapi bisa menjadi penanda bagi keberlangsungan program kerja sebuah pemerintahan baru.
Kenapa Jokowi penting untuk diingatkan soal seratus hari? Karena di dunia, cerita tentang seratus hari bukan hanya versi Rosevelt, tetapi ada juga versi Napoleon.
Penulis adalah pengajar Sosiologi Maritim di Program Studi Keamanan Maritim Universitas Pertahanan (Unhan).