Jumat 23 Jan 2015 17:48 WIB

Olok-Olok Memicu Benturan Peradaban

Harri Ash Shiddiqie
Foto: dokpri
Harri Ash Shiddiqie

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Harri Ash Shiddiqie

Satire adalah gaya bahasa dalam sastra untuk menyindir, mengolok-olok, atau menghina. Bentuknya bisa tulisan, pernyataan atau gambar. Satire muncul berkenaan dengan peristiwa, kondisi atau sikap seseorang yang tidak disukai, bisa kritik, tapi juga bisa cemooh total.

Di Prancis budaya satire tumbuh sejak jaman Renaisans, apa yang dilakukan Charlie Hebdo, telah dilakukan oleh sastrawan Prancis,  Voltaire, sekitar tahun 1740. Naskah drama yang ditulisnya menghina Nabi Muhammad SAW.

Saat itu, meski naskah satire Voltaire itu dipentaskan berkali-kali, tidak ada apa-apa.

Kini, 275 tahun kemudian, majalah Charlie Hebdo diserang, 12 meninggal. Bagi barat penembakan ini lebih mengguncang dibanding pengeboman yang menewaskan C. Stevens, duta besar AS di Libia. Charlie Hebdo adalah simbol kebebasan ekspresi.  

Pimpinan Majalah pernah diajukan ke Pengadilan karena menghina Nabi Muhammad SAW, demi kebebasan berekspresi Prancis, hakim memutuskan: bebas. Charlie Hebdo melenggang, tetap mengejek Islam.

Tatkala simbol kebebasan ekspresi ini dihempaskan oleh Cherif dan Said Kouachi, jantung peradaban Barat bergetar hebat. Mereka marah, terkejut, tapi juga bingung sekaligus gentar.

Marah, terkejut itu wajar, mengapa bingung? Karena berbagai analisa muncul, ada yang bilang, ini hanya ulah segelintir teroris dengan redaksi majalah beroplah kecil, titik. Sebagian berkata bahwa ini urusan Prancis, karena tidak memberi kelayakan hidup imigran, dipinggirkan, di ejek, lalu jadi radikal. Kebingungan bertambah, karena muncul polarisasi antara orang-orang liberal pembela kebebasan berekspresi tanpa batas dengan  mereka yang moderat.

Analisa yang lain berkata, ini bukti bahwa muslim di negeri Barat tidak bisa “disesuaikan” dengan budaya Barat.

Program “disesuaikan” itu mengacu karya Samuel Huntington “Benturan Peradaban”, yang membuat Barat mengambil kebijakan melakukan penetrasi budaya barat sekuler kepada Islam, ada hegemoni barat atas timur, semuanya melalui para penguasa di negeri Islam yang tunduk kepada barat. Dan tidak terkecuali, liberalisasi Islam. Desain ini mengharapkan Islam bukan ekor, tapi mengekor.

Tidak mudah, bahkan membingungkan.

Ini sudah ditulis Karen Armstrong, pakar fundamentalisme Islam. “Seratus tahun yang lalu, setiap intelektual Muslim,   filsuf, penyair, politikus, baik di Mesir, India maupun  Iran banyak yang jatuh cinta kepada Barat. Mereka belajar di barat dan ingin negara mereka memiliki model negeri Barat.”

Serangan di World Trade Center 11 September membuat Armstrong tercengang, mungkin mengigau: "Bagaimana bisa terjadi, kekaguman dan rasa hormat berubah menjadi kebencian? "

***

Diserang di jantungnya, Barat bereaksi spontan, Rabu terjadi penyerangan, Minggu berkumpul sekitar 3 juta orang dengan beberapa pemimpin dunia melakukan pawai solidaritas.

Tatkala pawai itu selesai, kejernihan mulai merayap, ada pertanyaan yang perlu dijawab, pertanyaan itu muncul karena tidak sedikit jurnalis dan politikus dunia yang bersuara, Charlie Hebdo itu salah, rasis, kotor. Bahkan, Paus dalam lawatannya di Filipina menyatakan: Kebebasan bersuara ada batasnya.

Pertanyaannya, bergeserkah kebebasan bersuara tanpa batas itu?  

Selama pertanyaan itu belum dijawab “ya”, akan selalu ada satire menghina agama, teror lalu menghantui setiap saat, masyarakat dicekam gelisah karena mengulum duri ketakutan. Bila jawabannya “ya”, peradaban barat bergeser. Apakah itu berarti Barat kalah? Dan bila mereka bersikeras menjawab “tidak”, kalahkah peradaban Timur?

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement