REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Asyhari Masduki MA/Aswaja NU Center Kepung Kediri
Tentu kita sepakat, mestinya umat bisa saling menghargai pendapat satu sama lain tanpa harus menghujat, menghina, dan mencaci kubu yang berbeda pandangan bila menyangkut khilafiyah. Pun demikian, pada titik tertentu dalam soal prinsip sekalipun, ada etika perbedaan di sana. Tetap harus dijaga.
Barangkali poin inilah yang dimaksud oleh Prof Ali Mustafa Ya’qub dalam artikelnya di Republika, 'Titik Temu NU-Wahabi', saat hendak mempertemukan dua kubu yang selama ini tak pernah akur. Memang seyogianya Muslim tak saling berseteru. Apalagi, bila melihat Protokol Zionis No 7 yang sengaja ingin menciptakan kegaduhan di internal umat.
Hentikan pembidahan dan pengafiran Wahabi terhadap Nahdliyin dan begitu pula hindari reaksi yang berlebihan kaum Nahdliyin atas Wahabi. Reaksi itu ibarat asap, tak akan muncul tanpa api. Seandainya ada tepo seliro saling memahami satu sama lain, tentu kehangatan akan terjalin. Itu yang kita cita-citakan hingga detik ini.
Semangat yang sama juga ditegaskan oleh pendiri NU KH Hasyim Asy’ari dalam karyanya, at-Tibyan fi an-Nahyi ‘an Muqatha’at al-Arham wa al-Aqarib wa al-Ikhwan. Mbah Hasyim, begitu sapaan akrabnya, menegaskan permasalahan tidak prinsipil dalam agama tidak menjadikan para sahabat dan ulama mujtahid pencetus mazhab empat saling menyalahkan satu dengan yang lain.
Namun, Kiai Ali juga harus ingat, di balik sikap toleran Mbah Haysim, ada ketegasan sangat luar biasa yang pada titik inilah ada jurang pemisah antara NU dan Wahabi. Bahkan, nyaris sulit dipertemukan. Sikap Mbah Hasyim ini pun bisa ditelusuri langsung dari karya-karyanya. Jumlahnya lebih dari satu, untuk bisa disebut jamak dalam kaidah bahasa. Bukan dari sumber referensi lain, atau ‘katanya-katanya’ seperti yang Kiai Ali pernah singgung.
Dalam mukadimah at-Tanbihat al-Wajibat, Mbah Hasyim menggarisbawahi urgensi purifikasi akidah (tanzih) terhadap dzat Allah SWT. Allah tidak menyerupai sesuatu pun di antara makhluk-Nya. Allah tidak berfisik (jism) dan Mahasuci Allah dari sifat-sifat jism.
Bandingkan dengan pendapat rujukan Wahabi, terutama Ibnu Taimiyah yang meyakini paham tajsim (bahwa Allah adalah berupa benda) dan meyakini bahwa Allah bertempat di atas singgasana (arsy). (Lihat, Syarh Hadits an-Nuzul, Muwafaqah Sharih al-Ma’qul Li Shahih al-Manqul dan Majmu’ Fatawa).
Dalam Bayan Talbis al-Jahmiyah, Ibnu Taimiyah menulis, "Sesungguhnya tidak ada penyebutan, baik di dalam Alquran, hadis-hadis Nabi, atau pendapat para ulama salaf dan imam mereka yang menafikan tubuh (jism) dari Allah. Juga tidak ada penyebutan yang menafikan bahwa sifat-sifat Allah bukan sifat-sifat benda. Dengan demikian, mengingkari apa yang telah tetap secara syariat dan secara akal; artinya menafikan benda dan sifat-sifat benda dari Allah adalah suatu kebodohan dan kesesatan."
Penelusuran lebih lanjut di karya Mbah Hasyim juga muncul ketidaksamaan dengan Wahabi yang sangat mendasar. Dalam Risalah Ahl as-Sunnah wa al-Jamaah, Mbah Hasyim tidak segan-segan menghukumi kafir mereka yang mengatakan bahwa alam ada sejak dahulu (azali) dan bersifat kekal. Artinya, jika alam azali dan kekal, kita akan mengakui ada kekekalan lain selain Allah. Sebab itu, keyakinan ini sangat berbahaya.
Sementara, Ibnu Taimiyah yang banyak dinukilkan oleh kalangan Wahabi menyatakan jenis (al-Jins atau an-Nau’) dari alam ini tidak memiliki permulaan, ia azaly atau qadim sebagaimana Allah azaly dan qadim. (Lihat Muwafaqah Sharih al-Ma’qul Li Shahih al-Manqul, Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah dan Majmu’ al-Fatawaj).
Perbedaan NU-Wahabi lainnya yang sangat jelas dan menyangkut akidah, bukan persoalan khilafiyah adalah soal status surga dan neraka. Mayoritas ulama sepakat dengan mengutip 60 ayat Alquran bahwa kehidupan di surga dan neraka akan abadi, tidak akan punah. Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibn al-Qayyim berpendapat lain. Neraka akan punah dan bahwa siksaan terhadap orang-orang kafir di dalamnya memiliki penghabisan. (Lihat Hadi al-Arwah Ila Bilad al-Afrah dan ar-Radd ’Ala Man Qala Bi Fana al Jananh wa an-Nar).
Perbedaan NU-Wahabi ternyata tak terbatas pada tataran ilmiah saja. Di level praktik dan pergerakan, keduanya berlawanan arah. Komite Hijaz yang diketuai oleh KH Abdul Wahab Chasbullah (embrio terbentuknya NU pada 31 Januari 1926), menemui Raja Ibnu Sa’ud yang beraliran Wahabi untuk mengajukan lima permohonan menyusul kebijakan yang cenderung mengerdilkan aliran yang berbeda. Di antaranya, keterbukaan untuk keempat mazhab, bukan hanya Wahabi dan pelestarian tempat bersejarah.
Maka tak heran, bila Mbah Hasyim dalam kitab Risalah Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah telah mengidentifikasi di antara ahli bidah adalah kelompok Wahhabi; para pengikut Ibnu Taimiyah dan kedua muridnya, Ibnu al Qayyim dan Ibnu Abd al-Hadi serta pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab.
Akhirnya, setiap kita mendambakan keharmonisan, selama tidak ada hujatan bidah, sesat, dan kafir terhadap siapa pun kelompok yang berbeda. Jika hanya mencari persamaan tanpa mengungkapkan perbedaan yang justru sangat mendasar akan sangat patut disayangkan karena kalaupun serupa, tetapi tetap tak sama dan sulit dipertemukan.
Meski, seperti ungkapan Mbah Hasyim di atas, patut kiranya kita saling menghargai satu sama lain tanpa harus mencela dan menghakimi. Biarlah kendali itu ada di tangan-Nya, Sang Pemilik kebenaran sejati.