REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Harri Ash Shiddiqie
Bagi pekerja seni, sensor bisa menjadi sandungan. Keinginannya, kreativitas itu berkobar ke segala arah. Itu juga dikehendaki penikmat seni, baik sastra, sandiwara, patung, lukisan sampai film, berharap bisa direguk semuanya, tanpa ada batasan apa-apa.
Tapi pekerja dan penikmat seni tidaklah berada di negeri Atas-angan. Di negeri bernama Indonesia ada estetika, juga ada etika. Ada budaya, agama, moral, nilai dan pandangan hidup. Ada kewajiban bahwa itu semua harus dipikul anak bangsa.
Tiba-tiba ada wacana penghapusan Lembaga Sensor Film (LSF). Gara-garanya, LSF membuat jalan cerita menjadi aneh. Film tidak enak dilihat, akibatnya jumlah penonton sedikit.
Tak salah bila banyak kalangan berpendapat, wacana penghapusan ini hanya berorientasi pasar, bukan peri kehidupan moral bangsa.
Penghapusan LSF disemangati para liberal, apalagi yang berkapital. Biarkan pasar bergerak “Laissez faire”. Kapitalis industri seni lalu berlomba-lomba memacu kreativitas, bersaing menciptakan produk yang bagus, yang indah, nyaman, dan dari sana mereka bisa menimbun keuntungan.
Maka akan diproduksi film dengan rating: aman, setengah aman, tidak aman (anak) tetapi nyaman (dewasa), sangat “tidak aman” tetapi sangat “nyaman”, dst. Tentu saja juga didatangkan film luar negeri dalam berbagai produk, rating dan tampilan. Seperti sepatu atau baju di masa kini, konsumen digiurkan keinginannya dengan banjir model, bahan, warna, kepraktisan maupun harga. Kepribadian, budaya, moral dan agama, harap minggir. LSF sebaiknya dihilangkan.
***
Selalu saja ada pendapat, bahwa masyarakat sudah pintar, sudah bijaksana memilih mana yang baik dan mana yang buruk, jadi tidak usah khawatir, masyarakat mampu menyaringnya. Benarkah?
Pendapat ini sepertinya hendak berkata: para ahli hukum, para jaksa, para polisi, para hakim, dan mereka yang pernah sekolah tinggi, pasti tahu konsekuensi melanggar hukum. Lalu benarkah di antara mereka tidak melakukan korupsi?
Di masyarakat, memang ada yang pintar, ada yang dewasa dan bijaksana, tetapi tidak sedikit yang konyol, gelap mata, gila hormat dan gila harta. Ada begal motor yang dibakar, kisruh kriminalisasi, harga beras naik, Sitorus yang punya rekening raksasa, dan kini hendak disusul penghapusan LSF.
Besok, apalagi?
***
Memang ada dilema. Gempuran informasi porno lewat internet sulit dibendung, tapi tidak berarti lembaga sensor dianggap percuma lalu dihapus. Bila sensor atau blokir situs sulit dilakukan, setidaknya di warnet diwajibkan memasang papan peringatan sehingga anak-anak tidak sesukanya melihat situs amoral.
Bila anak-anak mengaksesnya lewat handphone (hp), guru-guru sekolah didorong melihat hp murid-muridnya secara berkala. Itu sensor, itu bermanfaat menjaga. Pelanggaran selalu ada, tapi apakah karena pelanggaran pemakaian helm banyak dijumpai, lalu kewajiban memakai helm dihapus?
Ada sutradara yang berkata: Panduan LSF tidak jelas. Itu kritik. Kini, usahakan diperjelas. Karena LSF bukan hanya memagari konten porno, tapi juga kebencian, kekerasan.
Bila LSF menjadikan jalan cerita ada yang hilang, aneh, itu adalah hal yang wajar, itu konsekwensi logis. Contoh yang diberikan budayawan Taufiq Ismail sangat tepat. Menghapus LSF itu menghapus lampu merah, padahal lampu itu membuat lalu lintas tertib, mengurangi kecelakaan, menghambat kebut-kebutan.
Bila ada yang protes bahwa lampu merah itu menghambat perjalanan, ya itu konsekwensi logis. Itu pengorbanan.
Di dunia manapun : tak ada kebaikan tanpa pengorbanan.■