Oleh: Budiyanto, Manajer Unit Kepemimpinan Dompet Dhuafa
REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Saya berpendapat bahwa belum cukup alasan untuk memberhentikan presiden. Jika alasan yang digunakan adalah karena kebijakan presiden menaikkan harga BBM, instabilitas harga kebutuhan pokok, ataupun kenaikan tarif dasar listrik. Namun bagaimana dengan kondisi saat ini?
Cukupkah beralasan untuk memberhentikan presiden?
Keluarnya Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2010 tentang Pemberian Fasilitas Uang Muka Bagi Pejabat Negara pada Lembaga Negara untuk Pembelian Kendaraan Perorangan, yang intinya menaikkan fasilitas uang muka untuk pembelian kendaraan bermotor kepada pejabat negara dari nilai semula Rp 116.650.000,- menjadi Rp 210.890.000,- memancing berbagai polemik di masyarakat.
Setidaknya ada dua persoalan pokok dalam kasus itu. Pertama, kebijakan tersebut sangat tidak pantas dikeluarkan presiden di tengah-tengah kondisi rakyat yang semakin sulit akibat kenaikan harga berbagai kebutuhan hidup. Kedua, presiden merasa tidak tahu menahu/lalai/ kecolongan atas keluarnya perpres tersebut.
Dalam beberapa media Jokowi menyatakan bahwa ia tidak tahu menahu soal perpres tersebut. Sangat banyak surat-surat yang harus ditanda tangani setiap harinya. Sehingga untuk urusan administratif sudah ada tim yang menanganinya. Terhadap kenaikan uang muka pembelian kendaraan bermotor untuk pejabat negara, Jokowi menyatakan bahwa kebijakan semacam itu sangat tidak tepat, apalagi pada saat masyarakat mengalami kesulitan hidup akibat kenaikan harga berbagai kebutuhan.
Ada beberapa kejanggalan dalam kasus tersebut. Pertama, Jokowi tidak sempat memeriksa satu persatu surat yang telah ditandatanganinya. Ia tidak sadar bahwa telah menandatangani Perpres tersebut. Kedua, Jokowi telah menandatangani Perpres no 39 tahun 2015. Ketiga, Jokowi merasa kecolongan atas keluarnya Perpres tersebut. Ia sendiri menganggap bahwa kebijakan tersebut dirasa sangat tidak tepat dikeluarkan di tengah kenaikan sejumlah harga kebutuhan hidup yang semakin membebani masyarakat.
Pertama, bahwa presiden tidak sempat memeriksa satu persatu surat yang ditanda tangani, mungkin bisa dimaklumi. Tugas presiden memang sangat banyak. Negeri ini sangat luas. Dengan jumlah penduduk mencapai 240 juta-an jiwa yang harus diurusinya. Sehingga tugas untuk memeriksa satu persatu surat yang akan di tanda tangani presiden sudah selayaknya dikerjakan oleh tim yang ada di bawahnya. Jika ada surat-surat yang sangat penting tentunya tim yang ada dibawahnya akan menyampaikan kepada presiden.
Cukup aneh jika presiden tidak tahu menahu soal surat-surat penting yang masuk/keluar atau yang ditanda tanganinya. Jika itu yang terjadi, berarti ada yang aneh/tidak beres dengan tim yang ada di bawahnya. Bisa-bisanya presiden menandatangani hal yang sangat penting namun ia tidak mengetahuinya.
Kedua, Perpres nomor 39 tahun 2015 telah ditanda tangani presiden. Cukup mengejutkan jika presiden ternyata tidak sadar telah menandatanganinya. Ada dua kemungkinan tentang perpres tersebut, bahwa benar presiden yang menandatangani perpres tersebut atau mungkin juga bukan presiden yang menandatangani perpres tersebut. Jika bukan presiden yang menandatangani perpres terseb
ut, siapakah yang berani “memalsukan” tanda tangan presiden yang jelas-jelas adalah tindakan kriminal. Tapi bagaimana jika presiden yang menandatangani perpres tersebut? Persoalan menjadi lebih rumit. Karena sekelas presiden bisa tidak sadar/tidak tahu/ lalai dalam menandatangani sebuah kebijakan yang sangat penting.
Ketiga, presiden merasa kecolongan atas keluarnya Perpres tersebut. Jokowi menyadari bahwa kebijakan tersebut sangat tidak tepat dikeluarkan di saat masyarakat sedang mengalami kesulitan akibat kenaikan berbagai kebutuhan hidupnya. Lantas mengapa presiden tetap menandatangani perpres tersebut? Bagaimana mungkin presiden kecolongan atas peraturan yang ia tanda tangani sendiri?
Tanda tangan memiliki arti yang sangat penting dalam sebuah kebijakan. Apalagi tanda tangan seorang presiden. Dari sebuah tanda tangan dapat membawa kemanfaatan yang besar bagi rakyat, bangsa dan negara. Atau sebaliknya, dari tanda tangannya bisa membuat rakyat sengsara dan negara porak-poranda.
Kembali pada pertanyaan di awal tulisan ini. Dengan memperhatikan kondisi kekinian, terutama setelah muncul persoalan ketidaktahuan/ kelalaian/ ketidaksadaran presiden dalam menandatangani Perpres no 39 tahun 2015 yang akhirnya mengundang berbagai polemik di media. Cukupkah beralasan untuk memberhentikan presiden sebagaimana dimuat dalam UUD 1945?
Pasal 7A UUD 1945 menyebutkan bahwa alasan-alasan impeachment adalah pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Berkenaan dengan keluarnya Perpres no 39 tahun 2015 yang mengundang polemik akhir-akhir ini. Satu hal yang cukup menarik berkenaan dengan salah satu alasan impeachment adalah tentang perbuatan tercela. UU nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, pada Pasal 10 ayat (3) huruf d menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan perbuatan tercela adalah perbuatan yang dapat merendahkan martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden. Bahwa perbuatan yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden justru merendahkan martabatnya sendiri sebagai presiden dan/atau wakil presiden.
Peraturan Presiden adalah produk peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan dan di tanda tangani sendiri oleh presiden. Pengakuan Jokowi yang merasa kecolongan atas keluarnya Perpres nomor 39 tahun 2015, tentunya dapat merendahkan martabatnya sebagai seorang presiden. Bagaimana mungkin presiden tidak tahu menahu soal perpres yang telah dikeluarkan?
Lantas siapakah yang menandatangani perpres tersebut? Jangan-jangan banyak kebijakan yang dikeluarkan selama ini tanpa diketahui/ disadari oleh presiden. Lantas, siapakah sesungguhnya yang membuat kebijakan dan mengendalikan negeri ini? Jika Presiden saja kecolongan, tentunya negara dalam keadaan bahaya. Karena maling, bandit dan begal bebas berkeliaran dalam istana, dan berhasil mengelabui orang nomor satu di negeri ini.