REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Saharuddin Daming/Dosen Fakultas Hukum Ibn Khaldun Bogor
Ketika Lee Kwan Yew dinyatakan mangkat pada 23 Maret lalu, media massa ramai mengulas profilnya dengan segudang prestasi yang spektakuler. Sejak mendiang memegang tampuk pemerintahan lebih dari tiga dekade, Singapura tampil sebagai negara paling modern dengan tingkat kemakmuran rakyat yang paling tinggi di Asia, bahkan dunia.
Berkat jasa Lee sebagai arsitek Singapura modern, kini negara kecil yang tak punya sumber daya alam itu telah menjelma menjadi salah satu pusat bisnis dunia. Bahkan, pelabuhan laut dan udara maupun layanan rumah sakit hingga pendidikan di Singapura jauh lebih modern daripada fasilitas serupa yang dimiliki negara sekawasan.
Bandingkan dengan Indonesia yang memiliki sumber daya alam berlimpah, ternyata tidak berbanding lurus dengan kondisi kehidupan rakyatnya meski telah mengalami tujuh kali pergantian pimpinan pemerintahan. Herannya karena setiap pemimpin pemerintahannya senantiasa melontarkan grand planning bagi kemajuan bangsa.
Namun, semuanya hanyalah jargon kosong belaka. Sebut saja SBY yang mendaulat diri sebagai penggerak modernisasi Indonesia dengan politik santunnya ternyata lebih kental dengan politik pencitraan selama 10 tahun memimpin.
Kekecewaan publik sempat terobati dengan kemunculan program Nawa Cita yang digagas Jokowi–JK, tapi semuanya kini dirasakan bagai kembang di altar kamuflase. Betapa tidak karena dalam Nawa Cita ke-5 disebutkan bahwa Jokowi-JK akan meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia melalui peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan dengan program 'Indonesia Pintar'.
Juga peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan program 'Indonesia Kerja' dan 'Indonesia Sejahtera' dengan mendorong land reform dan program kepemilikan tanah seluas 9 hektare, program rumah kampung deret atau rumah susun murah yang disubsidi, serta jaminan sosial untuk rakyat pada 2019.
Namun, alih-alih untuk menyejahterakan rakyat dengan Kartu Indonesia Sehat dan Kartu Indonesia Pintar, rakyat miskin dewasa ini justru memperoleh ‘Kartu Indonesia Sabar’ dengan kebijakan Jokowi-JK yang tega menaikkan secara serentak: BBM, tarif tol, kereta api, LPG, listrik, PDAM, dan premi BPJS. Celakanya karena kenaikan BBM tersebut disandarkan pada kondisi harga migas pasar dunia. Hal ini jelas bentuk pelanggaran terhadap putusan MK No 002/PUU-I/2003 yang menyatakan penentuan harga BBM berdasarkan mekanisme pasar bertentangan dengan Pasal 33 Ayat 2 dan 3 UUD 1945.
Ironisnya lagi karena Menteri ESDM Sudirman Said mencoba melakukan kebohongan publik dengan menyatakan kenaikan harga BBM dan sejumlah komoditas lainnya tak memengaruhi inflasi maupun harga barang kebutuhan primer domestik.
Pernyataan ini sangat bertolak belakang dengan fakta karena sudah karakteristik hukum pasar di Indonesia yang menunjukkan tren kenaikan harga kebutuhan pokok selalu dipicu oleh kenaikan harga BBM dan komoditas lainnya yang dikendalikan oleh pemerintah. Bahkan, kadang-kadang sebelum pemerintah menaikkan harga BBM dan tarif komoditas lainnya, harga barang kebutuhan pokok sudah lebih dahulu naik.
Kebijakan pro-neoliberal yang dulu ditentang habis Jokowi-JK tersebut menyulut inflasi yang menggeleparkan perikehidupan rakyat lantaran kepungan harga komoditas primer membubung tinggi. Tak pelak lagi angka kemiskinan membengkak lantaran menurunnya daya beli sebagian besar masyarakat berpenghasilan rendah.
Meski secara statistik terjadi penurunan kemiskinan sebesar 28,59 juta orang atau 11,6 persen pada 2013, secara kualitatif kemiskinan justru mengalami involusi dan cenderung semakin kronis saat pemerintah menaikkan harga BBM dan komoditas lain pada 2014 hingga awal 2015.
Fenomena pilu jauh lebih terasa ketika kita membuka jendela politik dan penegakan hukum. Masyarakat kini semakin jenuh dan kehilangan kepercayaan atas semua lembaga politik dan penegakan hukum. Lihat saja duel kekuatan KMP dan KIH di DPR yang diperparah dengan perebutan pucuk pimpinan dalam tubuh Partai Golkar dan PPP.
Tontonan semakin memuakkan ketika DPR mendukung penuh Komjen Budi Gunawan sebagai kapolri meski telah ditetapkan sebagai tersangka. Parahnya lagi karena sekalipun Pasal 77 KUHAP telah menegaskan kewenangan limitatif praperadilan, tapi hakim tunggal Sarpin Rizaldi yang mengadili gugatan Komjen BG dengan lancang menabrak hukum acara maupun perasaan keadilan masyarakat.
Dengan kondisi destruktif seperti itu, kita patut mempertanyakan urgensi rule of law sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 Ayat 3 UUD 1945. Tidak heran jika publik semakin frustrasi dan pesimistis terhadap penegakan hukum.
Dalam kasus penanganan begal, misalnya, masyarakat lebih memilih main hakim sendiri daripada menyerahkan melalui proses hukum. Begitu rendahnya kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum, khususnya Polri, maka sebagian warga lebih mau mengunggah ke situs Youtube daripada melaporkan ke pihak kepolisian mengenai kasus pelanggaran hukum yang melibatkan oknum polisi sebagai pelaku. Sebab, sudah jamak terjadi dalam penanganan kasus oleh Polri terhadap oknum anggotanya berujung penguapan kasus.
Diskriminasi dalam dunia penegakan hukum kita mencapai titik kulminasi dengan kasus Nenek Asyani yang semakin mengukuhkan anomali hukum yang tajam ke bawah dan ke depan, tapi tumpul ke samping, ke belakang, dan ke atas. Tidak salah jika dalam buku yang berjudul the Behaviour of Law 1985, Donald Black menyadarkan kita bahwa hukum dalam segala dimensi syarat dengan perlakuan diskriminatif atas dasar stratifikasi sosial.
Semakin tinggi peran dan kedudukan seseorang dalam stratifikasi sosial, makin sedikit jumlah hukum yang mengikatnya. Sebaliknya, semakin rendah peran dan kedudukan seseorang dalam stratifikasi spesial, maka semakin banyak aturan yang mengikatnya.
Itulah sebabnya Phillippe Nonet dan Selznick menggagas hukum responsif sebagai hukum yang dibuat bukan untuk hukum itu sendiri, melainkan untuk mewujudkan kemakmuran rakyat secara keseluruhan. Setali tiga uang, Satjipto Rahardjo pun melontarkan ide tentang sistem hukum progresif yang mengajarkan bahwa hukum mendahulukan kepentingan manusia yang lebih besar ketimbang menafsirkan hukum dari sudut "logika dan peraturan".
Kontrasnya karena dalam Nawa Cita ke-4 Jokowi-JK menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya. Hal yang tampak dalam akuarium penegakan hukum dewasa ini justru pada pelemahan negara dan pelemahan KPK oleh kekuatan mafia korupsi yang bercokol di balik lembaga penegak hukum sendiri.
Begitulah nasib Nawa Cita yang dibajak oleh mafia korupsi yang hanya menyisakan aksara utopia demi menarik simpati publik dalam mewujudkan tujuan politik sesaat.