REPUBLIKA.CO.ID,Oleh William Henley, founder IndoSterling Capital
Tak ada lagi yang meragukan Indonesia dalam urusan pertumbuhan aktivitas sosial media. Bukti itu telah ditunjukkan dengan berkunjungnya CEO Twitter Dick Costolo ke Indonesia beberapa waktu lalu. Kedatangan Costolo ini kian menguatkan tanda bahwa Indonesia merupakan salah satu pasar penting yang tak boleh dilewatkan oleh sebuah perusahaan multinasional sekaliber Twitter.
Ketika menemui Wakil Presiden Jusuf Kalla, Costolo menyampaikan kesan khususnya tentang Indonesia. Twitter sangat tertarik menggarap pasar Indonesia yang sangat besar dan menguntungkan. Dari total pengguna aktif Twitter secara global sebanyak 284 juta, Indonesia menyumbang angka 50 juta atau hampir 18 persen. Pada hajatan pemilu 2014, Indonesia sempat menjadi negara dengan tweet terbesar kedua. Peristiwa-peristiwa di Indonesia juga secara cepat menjadi trending topic dunia seperti peristiwa meninggalnya artis Olga Syahputra atau tagar #SaveHajiLulung.
Tapi tak hanya Twitter saja yang berpengaruh kuat bagi penduduk di negeri ini. Pengguna aktif Facebook juga sangat besar. Di Indonesia penggunanya mencapai sekitar 60 juta dan menempati peringkat empat setelah Amerika Serikat, India, dan Brasil. Aktifnya penduduk Indonesia di media sosial ini tak lepas dari kemudahan teknologi dan perkembangan perekonomian Indonesia yang cukup pesat. Gadget canggih sudah menjadi barang yang biasa di Indonesia seiring dengan membaiknya tingkat perekonomian.
Di sini terlihat Indonesia sudah menjadi sebuah pasar yang sangat menarik jika merujuk dari sisi besaran populasi penduduk. Jumlah penduduk Indonesia hingga tahun 2014 mencapai 253 juta jiwa atau menempati peringkat keempat di dunia.
Tumbuhnya Ekonomi Kelas Menengah
Tak hanya itu, Indonesia menjadi negara dengan perkembangan kelas menengah terbesar di dunia. Jumlah kelas menengah Indonesia mengalami perkembangan pesat setelah krisis moneter 1997/1998. Bank Dunia mencatat pertumbuhan kelas menengah dari nol persen pada tahun 1999 menjadi 6,5 persen pada tahun 2011.
Pada periode ini, jumlah konsumen kelas menengah melonjak hingga 50 juta menjadi 130 juta, dan diwarnai dengan kenaikan rata-rata jumlah kekayaan. Ini juga menjadi salah satu faktor pendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa di atas 5 persen. Tak heran jika ini mendorong banyak perusahaan multinasional ikut ambil bagian.
Pertumbuhan ekonomi yang pesat telah mengangkat jutaan penduduk Indonesia keluar dari kemiskinan menuju ke kelas menengah. Boston Consulting Group memperkirakan jumlah konsumen “kelas menengah dan makmur” mencapai 74 juta pada tahun 2014. Angka ini diperkirakan meningkat menjadi 141 juta pada tahun 2030.
Sementara McKinsey memperkirakan 45 juta penduduk berada di “kelas konsumtif”. McKinsey memperkirakan angka penduduk “kelas konsumtif” ini meningkat lagi menjadi 135 juta pada tahun 2020. Sementara Bank Indonesia (BI) mencatat pertumbuhan kelas menengah Indonesia yang sangat signifikan sejak tahun 1980-an. BI melansir sekitar 5 dari 10 penduduk Indonesia berada dalam kategori kelas menengah.
Meningkatnya kelas menengah ini tentu saja sangat menarik bagi para produsen. Mengapa demikian? Salah satu ciri dari kelas menengah ini adalah sifat konsumtif. Mereka umumnya selalu tertarik dengan produk-produk baru, meski barang yang sama sudah dimiliki. Tak perlu heran jika kita pernah membaca berita antrean panjang saat menanti gadget terbaru dikeluarkan di negeri ini. Atau, antrean mengular ketika ada diskon produk sepatu impor. Dengan kondisi ini, maka tidak satupun perusahaan di dunia yang ingin mengabaikan pasar Indonesia.
Pasar yang besar ini tentu sangat menarik, sebagaimana disampaikan CEO Twitter. Namun, pasar yang besar ini juga menjadi sebuah pekerjaan rumah besar bagi pemerintah Indonesia. Jika tidak ditangani dengan baik, pasar besar Indonesia ini justru akan menggerogoti perekonomian Indonesia.
Pemerintah tidak boleh abai pada masalah ini karena Indonesia segera menghadapi era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada akhir tahun 2015. MEA akan memungkinkan aliran barang dan jasa dengan mudah. Indonesia sudah pasti akan menjadi incaran karena pasarnya yang besar dengan pertumbuhan yang terus meningkat.
Jika hanya menjadi pasar “jajahan”, sudah pasti pertumbuhan ekonomi yang dicapai Indonesia tidak akan berkesinambungan. Industri tidak tumbuh, tenaga kerja tidak terserap, hingga minimnya devisa ke kas negara.
Supaya Indonesia tidak hanya menjadi pasar untuk produk dan jasa negara lain, pemerintah sudah sepatutnya meningkatkan daya saingnya. Industri harus melakukan efisiensi agar produk-produknya tidak kalah saing dengan produk asing. Tak lupa juga, perlu dipikirkan kembali gerakan yang menanamkan kebanggaan pada produk Indonesia.
Selanjutnya lagi, Pemerintah harus terus memberikan dukungan agar daya saing industri semakin kuat. Tak hanya dengan mengeluarkan kebijakan yang mendukung, pemerintah juga harus berusaha menciptakan stabilitas makro ekonomi. Dengan demikian, dunia usaha menjadi semakin nyaman untuk berkembang.