Selasa 05 May 2015 05:49 WIB

Kontroversi Sertifikasi PSK

Gubernur DKI Jakarta Ahok mewacanakan sertifikasi PSK.
Foto: Antara
Gubernur DKI Jakarta Ahok mewacanakan sertifikasi PSK.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Muhbib Abdul Wahab/Pemerhati Masalah Sosial Keagamaan, Dosen UIN Jakarta

Ide dan rencana Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang ingin memberikan sertifikat kepada pekerja seks komersial (PSK) tak hanya menuai kontroversi (Republika, 28 April 2015), tetapi juga sangat melukai hati warga DKI yang mayoritas Muslim.

Jika benar-benar diwujudkan, ide Ahok justru kontraproduktif sekaligus menunjukkan ketidakpahaman Gubernur pada aspirasi dan harapan masyarakat DKI yang menginginkan Jakarta bersih dan bebas prostitusi.

Ide nyeleneh yang belum lama ini juga dikemukakan Ahok adalah pendirian toko yang secara khusus menjual miras setelah penjualan di supermarket dan minimarket dilarang Kemendag sejak 16 April lalu. Kita patut mewaspadai ide liar dan tidak edukatif seperti ini agar masa depan generasi muda bangsa ini tidak mudah 'teracuni' pola pikir kontraproduktif. Adakah Ahok sedang melakukan test case terhadap warga Muslim DKI dan umat Islam Indonesia pada umumnya?

Jawabannya sangat bergantung pada perspektif dalam membaca arah pemikiran sang Gubernur. Bagi Muslim, tentu saja ide ini hanya akan menambah maraknya kemaksiatan di Ibu Kota, di samping 'menguntungkan' pihak-pihak tertentu.

Dapat dipastikan, banyak kelompok kepentingan yang ikut bermain dalam legalisasi prostitusi yang sudah jelas diharamkan oleh agama, termasuk legalisasi judi dan penjualan miras, baik melalui proses legislasi (di DPR) maupun melalui jalur kekuasaan (Pemprov DKI).

Menurut Dadang Hawari, omzet bisnis prostitusi di Indonesia tak kurang dari Rp 11 triliun per tahun. Omzet bisnis miras Rp 4 triliun per tahun. Sedangkan, transaksi perjudian di Jakarta Rp 50 miliar per hari atau Rp 18,25 triliun per tahun.

Hal ini berarti bisnis prostitusi, judi, dan miras—belum termasuk oplosan—sangat menguntungkan secara finansial. Bisnis ini akan semakin "berjaya" jika mendapat legalisasi dan perlindungan dari penguasa daerah. Tampaknya Ahok cukup memahami 'nilai bisnis' ini, dan—atas nama toleransi—cenderung getol menyuarakan kepentingan tertentu yang bermain dalam bisnis tersebut.

Karena itu, rencana sertifikasi PSK layak ditolak karena lima alasan. Pertama, sertifikasi PSK—mirip sertifikasi guru—akan membuat perempuan berlomba-lomba mendapatkan legalitas sebagai PSK, lebih-lebih mereka yang belum memiliki profesi tetap. Dengan sertifikat PSK, yang bersangkutan bisa meraup banyak uang 'tanpa kerja keras'. Jadi, sertifikasi PSK sangat tidak mendidik generasi muda, sebaliknya menjerumuskan mereka ke jurang kemaksiatan dan kebobrokan moral.

Kedua, dampak negatif akibat sertifikasi tentu tidak kecil. Tidak disertifikasi saja, menurut Dadang Hawari, penyebaran HIV/AIDS di Indonesia per tahun 2,5 juta orang. Total biaya penanganan kasus HIV/AIDS di Indonesia per tahun sekitar Rp 33 triliun karena setiap orang penderita HIV/AIDS memerlukan biaya sekitar Rp 165 juta. Akankah penyakit paling berbahaya ini akan dibiarkan dengan adanya sertifikasi PSK?

Ketiga, sertifikasi PSK pasti merusak mental dan moral bangsa. Sertifikasi PSK bukan solusi terhadap kemiskinan sebagian warga bangsa, tetapi justru akan membuat para PSK itu malas menekuni profesi lain yang halal dan mungkin banyak menguras pikiran dan tenaga.

Lelaki hidung belang yang merasa memiliki cukup uang, tapi imannya lemah, terbuka kesempatan melampiaskan syahwatnya dengan membeli 'kenikmatan' dari jasa PSK yang sudah tersertifikasi. Terbongkarnya bisnis prostitusi online semakin menguatkan fakta bahwa sertifikasi PSK juga potensial menimbulkan trafficking anak-anak.

Keempat, sertifikasi PSK justru menjadi pintu masuk aneka kejahatan dan penyakit masyarakat (pekat) yang biasa dikenal molimo atau 5M (maling, main, minum, madon, dan madat). Penyakit era jahiliyah ini akan semakin mewabah dan meresahkan karena dilegalkannya praktik prostitusi dan sertifikasi PSK. Padahal, salah satu tugas pemerintah daerah adalah melindungi warganya dari aneka penyakit, termasuk pekat.

Artinya, jika pemerintah daerah justru memfasilitasi dan melegalkan prostitusi dan sertifikasi PSK, berarti membiarkan warga DKI dijangkiti aneka pekat dan kemaksiatan lainnya yang kemungkinan menular kepada orang lain yang tidak berbuat zina.

Kelima, dalam perspektif agama—khususnya Islam—diajarkan bahwa, "Siapa yang menunjukkan kepada jalan kebaikan, maka dia akan memperoleh pahala sama seperti pahala orang yang menempuh jalan kebaikan itu." (HR Muslim).

Hadis Nabi SAW ini dapat dipahami mafhum mukhalafah-nya,orang yang menunjukkan (juga memfasilitasi) jalan keburukan, termasuk sertifikasi PSK, maka dia akan memperoleh dosa yang sama seperti yang dilakukan PSK (zina). Artinya, pihak yang memfasilitasi berbuat zina sama seperti orang melakukan zina itu sendiri.

Karena akibatnya yang sangat berbahaya seperti terjangkiti penyakit kelamin, merusak tatanan rumah tangga, memicu aneka kejahatan kemanusiaan (trafficking dan perbudakan), Alquran secara tegas melarang mendekati perbuatan zina (prostitusi). (QS al-Isra’ [17]: 32). Mendekati saja dilarang, apalagi melegalkan, memfasilitasi, dan melakukan zina.

Jika sertifikasi PSK ini diniatkan untuk 'meningkatkan' pemasukan pendapatan asli daerah (PAD) melalui pemberlakuan pajak prostitusi, misalnya, maka warga Ibu Kota boleh jadi akan menolak jika pembangunan daerahnya didanai dari "uang hasil prostitusi".

Sudah saatnya Ibu Kota menjadi teladan dalam menjaga kebersihan multidimensi: bersih sungai dan jalannya, bersih aparatnya dari korupsi dan mafia, bersih warganya dari aneka kejahatan, bersih dan bebas dari penyakit menular, dan juga bersih dari peredaran miras, perjudian, dan prostitusi. Janganlah menghalalkan yang sudah jelas-jelas diharamkan oleh agama karena hal ini sama artinya menandingi dan melawan Tuhan!

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement