REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Hajriyanto Y Thohari/Kader Muhammadiyah, Mantan Wakil Ketua MPR
Apakah Muhammadiyah berpolitik? Pasti! Tetapi, tentu saja, berpolitiknya Muhammadiyah berbeda dengan berpolitiknya partai politik. Sebagaimana diatur dalam Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah; Kepribadian Muhammadiyah; Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah; Khittah Perjuangan Muhammadiyah; Khittah dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara; dan Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah, serta Keputusan-Keputusan Muktamar dan Tanwir-nya, Muhammadiyah adalah gerakan Islam, dakwah, dan amar ma’ruf nahiy munkar yang bersifat nonpolitik.
Muhammadiyah bukan parpol dan tidak berafiliasi dengan parpol manapun. Lantas bagaimana berpolitiknya Muhammadiyah selama ini?
Dr Alfian dalam Islamic Modernism in Indonesian Politics, the Muhammadiyah Movement during the Dutch Colonial Period 1912-1942 (1989) menemukan bahwa karena Muhammadiyah merupakan gerakan nonpolitik, keterlibatannya berbeda dengan organisasi lain yang menjadikan politik sebagai profesinya.
Sebagai organisasi nonpolitik, Muhammadiyah bila dimungkinkan berupaya memainkan peran politik tidak secara langsung dan terbuka, seperti misalnya dulu menyerahkannya pada SI, PII (Partai Islam Indonesia), Masyumi, dan Parmusi, sesuai situasi politik nasional. Tipe-tipe logika situasional inilah yang menentukan modus operandi dan modus vivendi politik Muhammadiyah.
Hanya saja, sebagai kelompok kepentingan dengan tujuan keagamaan dan sosialnya, Muhammadiyah memperlihatkan melalui berbagai cara yang terkadang secara langsung dan terbuka terlibat politik. Karena itu, Muhammadiyah selama ini tampak memiliki peranan ketiga sebagai salah satu kekuatan politik yang diperhitungkan setiap penguasa yang datang silih berganti.
Mungkin baru akhir-akhir ini saja terutama setelah satu dasawarsa reformasi, Muhammadiyah terpuruk dalam politik di negeri ini. Apalagi jika politik didefinisikan secara definitif dengan kekuasaan. Dalam definisi yang sempit ini 'matahari terbit memang sedang tenggelam' dalam jagat perpolitikan nasional mutaakhir.
Tak mengherankan jika bukan hanya orang Muhammadiyah yang masygul menyaksikan fenomena tidak diakomodasinya Muhammadiyah dalam Kabinet Kerja Presiden Jokowi-JK, melainkan juga beberapa aktivis dan Indonesianis ikut bertanya-tanya: apa yang sebenarnya terjadi?
Diyakini semua pihak bahwa Muhammadiyah adalah salah satu pilar dan jangkar NKRI. Akomodasi politik bagi kekuatan Islam modernis dan moderat ini dianggap konvensi atau keniscayaan politik. Tetapi, alih-alih diakomodasi, Muhammadiyah malah dinafikan. Dan ini baru pertama kali terjadi sepanjang sejarah perpolitikan negeri ini.
Meski belakangan disyukuri, banyak analisis untuk menjelaskan fenomena pengabaian Muhammadiyah yang notabene keluar dari kelaziman tradisi politik Indonesia itu. Dua tokoh cendekiawan muda Muhammadiyah yang sejak awal di lingkaran pertama pasangan capres yang memenangi Pilpres 2014, salah seorang di antaranya tetap setia di sana, dengan penuh bahagia memberikan analisis terperinci dalam enam poin yang kesemuanya sangat masuk akal.
Tetapi intinya, menurut saya, di atas segalanya, wajah politik Muhammadiyah masih diwakili sepenuhnya oleh Prof Amien Rais (dengan PAN-nya). Dan semua orang tahu tokoh ini berada di mana dalam Pilpres 2014.
Maka, lihat saja, meski ada banyak tokoh kelas satu Muhammadiyah yang mendukung capres Jokowi-JK, termasuk Buya Syafii Maarif dan Sutrisno Bachir, bahkan ada di antaranya menjadi tim sukses, tetapi kontribusi politik mereka tidak mendapatkan konsesi politik di kabinet. Mungkin karena dukungan politik itu terlalu individual, lugu, dan ikhlas-ikhlasan saja, atau juga fatsun politik di negeri ini sudah berubah di luar kelaziman.
Walhasil, keberadaan tokoh berpengaruh Muhammadiyah, termasuk Relawan Matahari Indonesia (RMI), di sisi politik sebelah sana hanya dianggap bunga-bunga. Secara politik mereka ini dianggap tidak bisa mengimbangi dominasi political leverage dan political magnitude ketokohan Prof Amien Rais yang di belakangnya ada gerbong parpol.
Dalam konteks dan perspektif ini maka nyata sekali—suka atau tidak—parpol telah menjadi wahana yang bukan hanya sangat instrumental tapi menentukan perpolitikan nasional saat ini. Berdasarkan pengalaman politik terakhir ini, saya sampai pada kesimpulan Muhammadiyah perlu "memiliki" parpol. Saya sengaja mencantumkan tanda kutip sebab pengertian "memiliki" ini harus dielaborasi dan dirumuskan lebih lanjut.
Bagi Muhammadiyah memiliki parpol bukannya tanpa preseden, apalagi ahistoris. Muhammadiyah pernah "memiliki" Masyumi dalam modus anggota istimewa (secara institusional), PII (secara organisasional), Parmusi (secara eksponensial), Sekber Golkar (secara eksponensial), dan PAN—dengan segala romantika dan problematikanya. Bagaimana format 'memiliki'-nya dan bagaimana 'hubungan' Muhammadiyah dengan partai politik ini adalah termasuk krusial yang harus dipikirkan mendalam dan sungguh-sungguh. Pasti upaya pencarian rumusan ini tidak mudah, tapi bukannya tidak bisa.
Muhammadiyah mempunyai banyak pengalaman panjang yang dapat dijadikan preseden dan inspirasi bagaimana berpolitik secara kontekstual. Muhammadiyah harus mengkaji manfaat dan mudaratnya 'memiliki' parpol. Ijtihad politik di masa lalu terbuka untuk dievaluasi dan direformulasikan kembali sesuai konteks dan logika situasi yang menyertainya.
Sebagai contoh, Tanwir Tahun 1955 Muhammadiyah mengevaluasi keterlibatannya secara institusional dalam Masyumi sebagai anggota istimewa karena dirasa merugikan dakwah yang menjadi misi utamanya. Padahal, bagi Muhammadiyah, politik itu meski penting hanyalah faktor komplementer.
Maka dari itu, sidang tanwir (1939) memandang wadah politik tersebut harus berada di luar struktur kelembagaan Muhammadiyah. Secara terperinci, rumusannya adalah bagi Muhammadiyah (1) politik itu penting, tetapi (2) tidak menjadi bidang garapan Muhammadiyah.
Jika Muhammadiyah ingin berjuang di bidang politik maka (3) harus dibuat wadah tersendiri yang (4) berada di luar struktur yang (5) tidak berhubungan secara organisasional dengan Muhammadiyah, tetapi (6) keduanya—Muhammadiyah dan parpol 'milik'-nya itu—harus bisa bekerja sama secara simbiosis mutualisme untuk dakwah. Dan last but not least, (7) dalam mengembangkan parpol ini harus bekerja sama dengan kekuatan bangsa dan umat Islam lainnya.
Mengapa wadah politik itu mesti di luar Muhammadiyah yang tidak berhubungan secara institusional? Jawabnya karena Muhammadiyah adalah gerakan dakwah, bukan organisasi politik, bahkan tidak memiliki afiliasi dengan—dan sampai kapan pun tidak akan menjadi—parpol. Tetapi, sangat meyakinkan bahwa untuk mewujudkan cetak biru berdasarkan pandangan dunianya, Muhammadiyah memerlukan bukan hanya strategi kebudayaan, melainkan juga politik.
Bagaimana modus operandi berpolitiknya dan seperti apa modus vivendinya dengan parpol yang dimilikinya itu tentu harus diletakkan dalam konteks Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah. Sebagai gerakan (movement atau harakah) dakwah yang selalu mengharuskan adanya mobilisasi sistematis dan sistematisasi yang dinamis, Muhammadiyah kadang-kadang memerlukan parpol. Percayalah.