REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Retno Wahyuningtiyas/Pengajar di Home Schooling Group (HSG) Khoiru Ummah, Sleman, Yogyakarta
Video kontroversial yang dibuat firma komunikasi pemasaran Ogilvy dan Mather bersama para pekerja imigran Transient Workers Count Two (TWC2) untuk Hari Buruh 1 Mei seharusnya bisa memberikan peringatan bagi para ibu yang aktif bekerja di luar rumah. Presiden TWC2, Noorashkin Abdul Rahman, menjelaskan video itu menunjukkan bahwa memberikan hari libur bagi para PRT adalah kesempatan bagi para orang tua untuk lebih mengenal anaknya sendiri.
Fenomena ini tak luput juga menggejala di Indonesia. Tuntutan perempuan bekerja disadari atau tidak justru malah menggeser peran ibu yang utama, yaitu menjadi pendidik bagi buah hatinya. Kehadiran PRT atau pengasuh menambah geliat ibu untuk bekerja aktif di luar rumah semakin mantap.
PRT ataupun pengasuh menjadi jawaban jitu atas pertanyaan "siapa yang akan mengasuh anakku ketika aku sibuk bekerja?" Seolah menjadi pembenaran bagi perempuan bekerja untuk menyerahkan pengasuhan dan pendidikan anaknya kepada pembantu sepenuhnya.
Tidak bisa dimungkiri arus sistem kehidupan saat ini menggiring manusia untuk selalu memenuhi kepentingan duniawi tanpa mengindahkan visi panjang ke depan. Terbukti, telah terjadi pengaburan, bahkan kesalahan paradigma, khususnya di benak kaum hawa.
Seiring perkembangan zaman, sebagian besar perempuan tak mau lagi menyandang predikat ibu rumah tangga lagi. Dengan dalih motif ekonomi maupun eksistensi diri, mereka terpanggil untuk mengeluarkan diri melawan kodrati. Hal ini juga tak lepas dari dampak neoliberalisme yang mengharuskan ibu bekerja keluar rumah dan sibuk dengan kariernya.
Bersama kesulitan pasti ada kemudahan ketika manusia mau untuk berpikir. Manusia takkan pernah bisa hidup tanpa aturan. Begitu pun fitrah dan kodrat seorang perempuan sangat mulia, yaitu sebagai pengatur rumah tangga dan pendidik generasi.
Dimuat di Harian Republika, Selasa, 5 Mei 2015