REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Direktur ACT Foundation, Sri Eddy Kuncoro.
Bencana yang mengharu-biru rakyat, seperti sebuah panggilan. Mula-mula pejabat tingkat lokal: pak RT, RW, Lurah hingga Camat. Lalu Bupati hingga Presiden. Kadang paling tinggi hanya sampai Gubernur saja. Ukurannya juga absurd. Dilihat dari 'jumlah korban'? Tidak juga, karena longsor Pengalengan, Kabupaten Bandung saja, dengan korban 14 jiwa dan tak sampai 150 keluarga mengungsi, sampai Menteri Sosial pun, turun.
Tak apalah, bagus, pejabat menunjukkan kepeduliannya. Senang mendengar Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa menyampaikan rencana pemerintah merelokasi warga yang selamat dan kini mengungsi dari sekitar area longsor Pangalengan (9/5). Di depan pengungsi, Mensos menghibur, katanya, jangan bersedih, karena mereka akan mendapat empat tinggal baru.
Bukan sekali ini saja, pejabat pemerintah level manapun: presiden sampai bupati, unjuk peduli dan memberi penghiburan atas korban bencana. Hanya saja, sering komitmen seorang pejabat (terutama yang dari pusat) lambat dalam implementasi. Sangat mungkin hal ini terkait dengan hirarki birokrasi yang menghambat percepatan dalam implementasi.
Dengan intensitas bencana di Tanah Air, reformasi birokrasi yang sudah lama disuarakan, seharusnya juga tecermin dari kecepatan memberi penyelesaian sistemik, bukan sekadar aktivitas karitatif yang tidak kunjung memberi pengayoman korban bencana alam maupun sosial di Tanah Air.
Seperti gempa Sumatra Barat (2007), sampai 2009 realisasi permukiman korban gempa belum tuntas. Erupsi Sinabung 2013 juga belum tuntas. Korban gempa Aceh Tengah 2013, Lombok Tengah (2013), banjir dam alam Wae Ela di Maluku Tengah (2014) belum ada hunian pengganti. Pengaruh pernyataan pejabat sangat besar memengaruhi publik. Ketika pemerintah menyatakan menyiapkan ini-itu untuk rakyat korban bencana, gerakan filantropi masyarakat mengendur. "Toh pemerintah sudah membantu."
Penggerak filantropi masyarakat seperti ACT, kena imbasnya. Di sejumlah titik bencana, lembaga kemanusiaan kerap menjadi the last standing. Begitu fase emergency berlalu, keriuhan media massa sudah hilang, posko-posko hebat yang sangat mungkin menyedot anggaran tidak kecil, ikut menghilang, tinggallah satu dua lembaga kemanusiaan, menjadi tumpuan harapan korban bencana. Sepanjang dukungan publik terus mengalir, sepanjang itu lembaga pengelola filantropi ini akan terus berbuat.
Langkah ideal ACT, begitu ada pengungsian, maksimal tiga bulan harus mendirikan shelter yang layak huni, bukan tenda-tenda darurat yang saat hujan dan angin, membuat penghuni menggigil kedinginan. Tentu disiapkan perlengkapan rumahtangga penopang hidup lama di shelter. Itu jika masyarakat masih bersemangat besar menolong korban bencana di fase pascadarurat.
Tapi kalau pemerintah sudah meyakinkan khalayak, semua akan disiapkan dari hunian hingga fasilitas umum/fasum-fasilitas sosial/fasosnya, padahal belum tentu terwujud dalam satu hingga dua tahun, mulailah derita panjang pengungsi. Seperti Sinabung, Wae Ela, Aceh Tengah, Lombok Tengah, bahkan ribuan korban konflik horizontal pascareformasi yang berdiaspora mencoba bertahan hidup di beberapa daerah.
Birokrasi yang berbelit harus dipangkas, tanpa mengendurkan pengawasan. Bukan sekadar menegakkan hirarki, tapi mengedepankan koordinasi. Pemerintah eksis, sungguh, jika dalam urusan rakyat ia punya peran signifikan. Rakyat menikmati kebaikan pemerintahnya. Kemenangan sejati politik dan demokrasi, saat urusan rakyat benar-benar terurus dengan baik. Rakyat maksimal merasakan pelayanan negara.
Jika semua itu tegak berdiri pada kewenangan dengan kesungguhan, ACT dan berbagai organisasi kemanusiaan lainnya, bahkan di seluruh dunia, tak perlu ada. Sayangnya, ia harus ada sebagai panggilan dari belum optimalnya peran kemanusiaan negara dan perhimpunan negara-negara di dunia ini.
Wallahu a'lam bish-shawwab.