REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Widdi Aswindi
Ada gelisah, juga gundah melanda. Pagi ini berserabut ide berseliweran yang bermuara dari serakan fakta penuh ironi. Fakta sebuah negara yang tidak pernah jadi nomor satu atau juara dalam hal-hal baik. Sejatinya, janganlah kita marah tat kala membaca apa yang tertulis.
Saya hanya ingin mengajak, marilah kita berkaca diri! Sudahkah dan bersediakah kita untuk mengeliminasi fakta-fakta yang akan saya tuliskan ini menjadi tantangan yang harus diperbaiki untuk menjadi negara nomor satu?
Diakui atau tidak, rakyat negeri ini seakan kian menjauh dari kata beradab, juga sejahtera. Dan maaf, pemimpinnya punya mahkota tapi tak bisa 'berkuasa'. Penguasanya adalah para petualang politik yang selalu menunggangi 'mahkota' tanpa kuasa tadi.
Ironisnya, tangan-tangan besar ini justru tak pernah tersentuh apapun, terutama tanggung jawab dan kebaikan. Terkadang samar-samar terlihat, mereka gemar 'mengambil yang bukan haknya' atau 'mengutip yang bukan hartanya'. Sekali lagi, janganlah kita bermerah telinga saat baru memulai membaca yang tertulis ini.
Tetapi ironi bangsa ini justru masih belum berakhir. Akibat tidak beradab ditambah kurang ilmu dan kebijaksanaan, bangsa ini seakan-akan terlihat begitu pongah kalau sudah bergaya. Seakan-akan, sekali lagi, mereka merasa mampu melawan bangsa-bangsa lain serta jago bersilat lidah dalam mengungkap kehebatan sejarah masa lalunya.
Mengaku punya nenek moyang pelaut, tapi tidak pernah sekalipun memakai kapal laut. Paling banter hanya memakai sampan kecil di tempat wisata. Mengaku ramah dan sopan tetapi aktivitas kesehariannya justru kebanyakan melanggar aturan dan berprinsip aturan hanya ada untuk dilanggar.
Tengoklah dari hal yang paling kecil saja. Mulai dari kegemaran membuang sampah yang bukan pada tempatnya sampai yang paling besar -- saling menggunting dalam lipatan dengan saudara bangsa sendiri. Untuk kesekian kalinya, janganlah kita bermuram durja membaca apa yang tertulis di sini. Tengoklah diri kita, hal kecil apa yang sudah kita lakukan agar tak dituding sebagai manusia tak beradab yang doyan bergaya pongah.
Lantas, bukan hanya sekedar ironi menimpa bangsa yang tak pernah mau menjadi nomor satu ini. Paradoks kehidupannya begitu nyata. Tengoklah bagaimana sesuatu yang formal berubah menjadi informal. Sebaliknya, yang harusnya informal justru menjadi formal. Pejabatnya kayak pengusaha yang selalu mencari 'sesuap nasi'. Sebaliknya, pengusahanya lebih berkuasa karena selalu dikawal sama patwal dan bodyguard.
Lalu rakyatnya terlatih meniru kemewahan tapi sesungguhnya tidak bisa membedakan kalau lapar beli nasi atau beli pulsa, juga tak bisa memprioritaskan apakah harus membeli rokok dulu atau menyicil uang buku buat anak sekolah.
Semuanya kini hanya melahirkan parodi bagi bangsa ini. Menjadi objek tertawaan sedunia dari mulai penguasanya sampai ke rakyatnya. Tenaga kerjanya dilecehkan karena kualitasnya yang hanya mengandalkan otot saja.
Pemudanya dihempaskan karena tak bisa apa-apa, kecuali hanya narsis di Twitter maupun Facebook. Pengusahanya jelas cuma kelas broker. Penguasanya ditertawakan karena tak mengerti mau dibawa kemana rakyatnya.
Anehnya bangsa ini sekalipun ditertawakan sedunia, masih saja berharap ada 'ratu adil' yang bisa menyelamatkannya. Inilah absurditas cara berpikir dan bersikap yang kian melengkapi segala ketidakmampuan untuk menjadi nomor satu dalam hal baik-baik.
Sekali lagi, janganlah kita bermuram wajah setelah usai membacanya. Sunggingkanlah sedikit senyuman di antara ironi fakta yang telah saya paparkan. Sudahkah kita berikhtiar untuk menjadikan bangsa ini menjadi nomor satu dalam kebaikan?