REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Diaz Hendropriyono (Anggota Tim Transisi PSSI)
Beberapa hari yang lalu, sembilan orang pejabat eksekutif FIFA ditahan oleh kepolisian Swiss yang mewakili departemen hukum Amerika Serikat (AS) dengan berbagai tuntuan kasus korupsi. Penahanan para pejabat eksekutif ini menunjukkan bahwa budaya korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan telah mendarah-daging di dalam badan pengurus sepak bola tertinggi di dunia tersebut.
Pada saat yang bersamaan, PSSI, asosiasi sepak bola nasional Indonesia sedang mengalami pembekuan sementara sebuah tim transisi dibentuk oleh pemerintah untuk melakukan reformasi terhadap penyelenggaraan kompetisi sepak bola di tanah air.
Pembekuan sementara terhadap PSSI tersebut dilakukan atas dasar sangkaan beberapa kasus korupsi dan dugaan kesalahan penyelenggaraan serta manajemen kompetisi sepabola nasional. Pembekuan oleh Kemenpora ini akhirnya berujung pada pemberian sanksi (suspension) terhadap PSSI oleh FIFA.
Meskipun kebijakan pembekuan PSSI oleh Kemenpora telah melahirkan berbagai kontroversi, saya yakin inilah saat yang paling tepat untuk melakukan reformasi penyelenggaraan kompetisi sepak bola nasional. Terdapat beberapa alasan mengapa proses transisi ini adalah sebuah "kejahatan yang diperlukan" (necessary evil). Pada tingkatan personal, seperti kebanyakan rakyat Indonesia pada umumnya, sepak bola memiliki tempat tersendiri dalam kehidupan saya. Didalamnya terdapat kenangan hidup dari masa kecil bahkan hingga dewasa, baik kenangan personal maupun kenangan yang terbagikan antar-komunitas.
Oleh karenanya, kondisi tim sepak bola Indonesia saat ini sangat menyedihkan bagi saya. Peringkat Indonesia di FIFA saat ini berada pada peringkat 159 dan tim nasional (timnas) Indonesia belum pernah lagi memenangkan turnamen apapun sejak SEA Games 1991. Timnas Indonesia pun ikut serta dalam Piala Dunia, pada tahun 1938. Meski kalah pada putaran pertama, hal tersebut merupakan prestasi terjauh Indonesia dalam Piala Dunia.
Tetapi itu terjadi sebelum kita merdeka, pada masa ketika nama "Indonesia" belum lahir dan timnas kita mewakili Hindia Belanda. Selain itu, hasil terbaik timnas Indonesia pada tingkatan internasional terjadi ketika kita dapat menahan Uni Soviet 0-0 pada Olimpiade 1956, yang merupakan satu-satunya penampilan Indonesia pada turnamen sepak bola di Olimpiade.
Pada tingkatan profesional, meski beberapa pihak menganggap bahwa pembentukkan tim transisi merupakan sebuah bentuk intervensi politik terhadap PSSI, kebijakan yang diambil oleh Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) ini tidak seharusnya dilihat sebagai bentuk intervensi politik.
Walaupun Menpora adalah sebuah jabatan politik, namun kebijakan ini sesungguhnya diambil berdasarkan pada hasrat murni untuk melakukan reformasi dan membangkitkan kembali sepak bola Indonesia, baik tim nasional Indonesia maupun klub-klub sepak bola Indonesia. Usaha untuk melakukan reformasi ini telah juga mendapat dukungan dari Presiden Joko Widodo.
Bentuk dukungan ini sesungguhnya sangatlah berarti, tidak hanya dari segi pengalokasian sumberdaya tetapi juga dalam aspek administratif yang kemudian dapat membantu inisiatif ini berhasil. Terlebih lagi, dukungan tersebut menunjukkan bahwa Presiden Joko Widodo sesungguhnya peduli terhadap sepak bola Indonesia dan bahwa ia merepresentasikan keinginan publik terhadap kebangkitan sepak bola Indonesia.
Dalam konteks tersebut, usaha reformasi terhadap organisasi olahraga oleh inisiatif politik tidak hanya terjadi di Indonesia dan bukanlah merupakan hal baru. Penangkapan pejabat eksekutif FIFA oleh otoritas Swiss dan AS beberapa hari yang lalu menunjukkan bahwa tidak ada organisasi yang imun terhadap intervensi pemerintah, terutama dalam situasi kontekstual yang sesuai.
Menteri Luar Negeri Jerman, Frank-Walter Steinmeier mengatakan bahwa jika organisasi sepak bola dunia tidak dapat dihindarkan dari praktek korupsi dan semacamnya, pihak pemerintah terpaksa harus mengambil langkah yang diperlukan.
Preseden yang sama terjadi pada tahun 2009 di AS, ketika Presiden AS Barrack Obama meminta sistem "playoff" BCS digantikan dengan sebuah sistem yang dianggap lebih adil dan kompetitif. Kritik terhadap sistem BCS diantaranya adalah bahwa hak sebuah tim untuk ikut serta dalam sebuah kejuaraan ditentukan oleh algoritma komputer.
Sistem tersebut memunculkan banyak pertanyaan mengenai keabsahan sistem dan pembagian hak yang adil bagi tim-tim di AS. Pada saat itu, permintaan Presiden Barrack Obama mendorong departemen hukum AS untuk menginvestigasi BCS terhadap dugaan pelanggaran hukum. Pada akhirnya, BCS memilih untuk tunduk dan mempertimbangkan permintaan Presiden Obama untuk membentuk sistem yang lebih adil.
Dalam kasus tersebut, dapatkah permintaan Presiden Obama tersebut dikatakan sebagai sebuah intervensi politik? Tidak sepenuhnya. Oleh karenanya, sebuah keinginan untuk melakukan reformasi terhadap organisasi olahraga, melalui metode yang dapat diterima oleh publik, tidaklah seharusnya semena-mena dianggap sebagai sebuah intervensi politik bahkan ketika usaha reformasi tersebut dijalankan oleh pejabat-pejabat politik. Sebagai tim transisi asosiasi persepakbolaan di Indonesia, yang dilakukan oleh Menpora adalah bertindak berdasarkan kekhawatiran publik yang selama ini tidak mendapat tempat.
Pihak-pihak yang tidak setuju terhadap tim transisi berpendapat bahwa "intervensi eksternal", terutama intervensi politis, tidak dapat dilakukan terhadap PSSI karena PSSI merupakan sebuah lembaga "independen" menurut FIFA dan reformasi seyogyanya dilakukan secara internal. Namun, apa yang dapat terjadi jika permintaan atau keinginan untuk melakukan perbaikan internal tidak juga dilakukan?
Maka kemudian muncullah alasan kedua yang menjustifikasi kebijakan ini. sepak bola, sebagai sebuah cabang olahraga, adalah milik masyarakat dan oleh karena itu merupakan kepentingan publik. Tidak hanya itu, klub sepak bola dan tim sepak bola nasional menggunakan stadium yang dibiayai oleh publik, menggunakan fasilitas penyiaran publik, mendapatkan insentif finansial dari pemerintah, dan mempengaruhi pasar yang terkait dengan sepak bola.
Dari perspektif itulah, meski organisasi olahraga dapat mengklaim independensi, independensi tersebut tidak dapat diartikan sepenuhnya sebagai isolasi dari aspek-aspek eksternal, dan beroperasi tanpa bentuk-bentuk transparansi.
Pada akhirnya, penting untuk memahami bahwa sepak bola adalah bagian dari kepentingan nasional. Kepentingan nasional adalah sebuah konsep dimana sebuah negara menggunakan kompetensinya untuk mendukung agenda nasional dan sepak bola telah menjadi bagian dari kepentingan nasional berbagai negara di dunia untuk meningkatkan kebanggaan nasionalnya.
Beberapa negara, bahkan, menggunakan segala cara untuk dapat menjadi penyelenggara Piala Dunia. Alasannya adalah bahwa sepak bola adalah olahraga yang sangat populer melebihi bidang-bidang olahraga yang lain, hingga pada tingkatan dimana kesuksesan suatu negara dalam sepak bola dapat membantu meningkatkan citra negara terkait bahkan soft power negara terkait untuk mendukung agenda nasionalnya. Oleh karenanya, kurang kompetitifnya persepakbolaan Indonesia dapat menjustifikasi argumen kepentingan nasional untuk menjalankan reformasi terhadap persepakbolaan Indonesia dan PSSI.
Di beberapa negara, termasuk Indonesia, sepak bola merupakan national pride dan dapat menyatukan sebuah bangsa. Terdapat satu kasus pada tahun 2006 yaitu perang sipil di Pantai Gading, Afrika. Akan tetapi pada saat Pantai Gading bermain di Piala Dunia, kedua pihak yang berkonflik setuju untuk "bersatu" guna mendukung usaha dari tim sepak bolanya di Piala Dunia tersebut.
Hal ini menunjukkan betapa pentingnya sepak bola untuk membangun sebuah bangsa. Pasca jatuhnya sanksi FIFA terhadap PSSI, pemerintah harus dengan cepat mengambil kesempatan untuk lebih aktif dalam memainkan perannya guna memajukan persepakbolaan nasional. Tim Transisi yang dibentuk oleh Menpora harus menjadi garda terdepan dalam upaya pembenahan tersebut.