REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ahyudin (Presiden ACT Foundation)
Ketika ‘krisis’ dan ‘kenyamanan’ tetap ada, kiamat ‘tertunda’. Kalau kenyamanan melampaui bahkan mendominasi kehidupan, juga sebaliknya, krisis terutama moral mendominasi kehidupan. Di sanalah kiamat lebih dekat. Sejatinya, keberimanan -- menjaga batin dan pikiran tetap bersikap positif -- tak hanya saat aman-damai tapi juga saat krisis melanda.
Ilmu alam meyakini, kalau bumi berhenti berputar, bulan dan matahari berhenti mengitari orbit. Bahkan salah satu saja berhenti dalam pergerakan regulernya, itu membuat benda-benda langit bertumburan. Orang beriman menyebutnya ‘kiamat’. Tata surya tak lagi mengikuti keteraturannya dan bencana akhir zaman pun terjadilah.
Menganalogikan keteraturan benda-benda langit itu, dalam tataran kehidupan umat manusia di bumi, ada juga keteraturan yang lain. Perputaran bumi, setara dengan hadirnya krisis kemanusiaan. Kalau di semua tempat sudah tak ada krisis, kalau semua mendekati ‘aman-tentram’ dan bumi tak lagi diterpa bencana sama sekali, pandanglah itu sebagai prolog akhir zaman. Waspadalah.
Jangan berburuk sangka pada krisis kemanusiaan: bencana alam atau pun bencana sosial. Krisis kemanusiaan akan selalu hadir untuk memuliakan manusia, membuat yang lebih beruntung mengalirkan energi kebaikan dan kemaslahatan kepada yang dilanda krisis.
Jika krisis di seluruh permukaan bumi dilenyapkan, semua orang (tak peduli beriman atau tidak) hidup nyaman, lalu bagaimana energi kebaikan akan dialirkan? Akan banyak hukum-hukum sosial tak bisa dijalankan.
Zakat sebagai salah satu rukun Islam dan kedermawanan lainnya (dari wakaf hingga fidyah bahkan kaffarat) tak bisa lagi ditunaikan, karena orang susah tak ada lagi; fakir-miskin, gharimin, dan asnaf-asnaf semua sudah tak ada lagi. Ini prolog akhir zaman. Waspadalah!
Di pekan awal Ramadhan ini, suasana kesalehan spiritual membumbung tinggi. Kesalehan sosial juga mengemuka meskipun masih bersifat sporadis-individual. Rakyat Indonesia terutama umat Islamnya, menunjukkan kesalehannya dengan ibadah spiritual maupun ibadah kemanusiaan.
Orang per orang di negeri ini terlihat memenuhi tempat-tempat ibadah, media massa juga menjadi saleh. Dalam suasana yang teduh ini, ada yang luput dari evaluasi kritis kita.
Boleh jadi rakyat negeri ini banyak yang saleh, dermawan dan welas-asih. Untuk sebuah negeri, ini saja belum cukup untuk meraih keutamaan Ramadhan. Negeri ini perlu kesalehan kebangsaan, bukan sekadar kesalehan kewargaan. Apa itu kesalehan kebangsaan? Dan mengapa Indonesia belum bisa menunjukkan kesalehan kebangsaan?