REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ahyudin (Presiden ACT Foundation)
Kebangsaan itu direpresentasikan sikap formal negara, ekspresi konkret pemerintahnya. Disebut bangsa karena dipayungi sistem kenegaraan dan diformalisasi kebijakan negara.
Kesalehan kebangsaan itu langkah konkret pemerintah sebagai wakil bangsa, dengan sikap berupa pernyataan dan perbuatan baiknya. Empati dan kebijakannya berpihak pada kebaikan universal. Tak ada sedikit pun kebijakan yang membawa kemudharatan.
Kalau hal ini bisa diekspresikan dengan bebas dan tulus, bangsa ini menjadi bangsa yang dirahmati, menjadi bangsa yang lebih banyak menolong daripada ditolong; menjadi bangsa yang lebih banyak memberi ketimbang diberi.
Diantara sekian peristiwa kemanusiaan di negeri ini, sedikit catatan pengingat bisa saya bagi di sini. Tentang kekurangsalehan bangsa, bersebab sikap pemerintahnya.
Di sejumlah bencana alam pemerintah begitu lekas berjanji menyediakan ini-itu untuk mengentaskan rakyat Indonesia yang menjadi korban bencana, entah janji memberi hunian sementara, memberi santunan untuk jangka waktu tertentu, melakukan relokasi bahkan transmigrasi karena rakyat yang menjadi korban bencana, tinggal di kawasan rawan bencana. Faktanya, kondisi ini berlangsung terlalu lama.
Pemerintah kabupaten, bahkan pemerintah provinsi, terbiarkan mengatasi sendiri masalahnya. Pemerintah kabupaten pun, belum sigap mengantisipasi. Demikian juga pemerintah provinsi.
Sementara pemerintah pusat seperti tidak punya strategi lanjutan untuk mengatasi krisis demi krisis. Di sini ketidaksalehan kebangsaan terjadi: saat janji tak tertunai, dan sikap konkret tak kunjung dilakukan.
Rakyat saleh negeri ini paham, pemerintah banyak beban. Maka, solusi bijak atas situasi kekurangberdayaan pemerintah, yakni memberi ruang partisipasi masyarakat seluas-luasnya untuk menopang pemerintah.
Jadilah ‘pemerintah yang saleh’ di semua level, yang menjadi pengayom dan penyeru kebaikan, pendukung total kebaikan masyarakat sipil. Biarkan masyarakat sipil berkreasi, beri dukungan total birokrasi untuk semua kesalehan rakyat, agar menjadi kesalehan bangsa. Jangan tahan akses logistik di momentum kritis, jangan berbelit birokrasi dalam situasi gawat ketika bencana melanda.
Dalam dua tahun terakhir ini saja, beberapa bencana alam yang melenyapkan hunian rakyat Indonesia, belum kunjung memperoleh bantuan tuntas. Bukan tiga hingga enam bulan mereka menanti, bahkan ada yang lebih satu tahun.
Korban gempa Lombok Tengah, Aceh Tengah, belum mendapatkan hunian pengganti. Suara mereka tak terdengar di sini, meski deritanya belum hilang. Pengungsi erupsi gunung Sinabung, juga belum semuanya mendapatkan hunian pengganti, hidup di bedeng-bedeng darurat yang dibangun swadaya. Bangsa ini bangsa baik, hanya dengan keseriusan pemerintah mengawal janji-janjinya kesalehan kebangsaan menjadi nyata.
Tak hanya urusan bangsa sendiri, krisis kemanusiaan yang memaksa Muslim Rohingya lari, dan sebagian mendarat di Indonesia, bisa menjadi momentum mewujudkan kesalehan kebangsaan. Memberi kesempatan hidup, memberi hunian, bahkan hingga mereka tegak sebagai manusia selayaknya: punya kebangsaan dan Tanah Air.
Memuliakan Muslim Rohingya hingga tuntas, adalah sedekah bangsa yang memuliakan Indonesia. Inilah cara bangsa ini bukan saja besar dan disegani. Lebih dari itu, menjadikan bangsa ini pemberi bukan penerima, penyantun bukan yang disantuni.
Sedekah bangsa kepada rakyat sendiri maupun bangsa lain, bagian penting menjaga harmoni. Keyakinan kami kuat, krisis kemanusiaan akan selalu hadir sebagai bagian harmoni dunia.
Pilihan terbuka bagi bangsa Indonesia melalui sikap pemerintahnya: menjadi bangsa yang mengatasi krisis kemanusiaan, ataukah menjadi bangsa yang dilanda krisis dan menjadi penerima pertolongan bangsa-bangsa lain.
Do’a kami di Ramadhan Mubarak 1436 Hijriyah ini, pemerintah Indonesia tidak pernah ragu melakoni sedekah bangsa dengan kebijakannya mempercepat penanggulangan krisis kemanusiaan di dalam maupun luar negeri. Inilah cara ilahiyah menjadikan Indonesia baldatun thayyibatun wa rabbun ghafuur.