REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Faozan Amar (Direktur Al Wasath Institute dan Dosen Studi Islam FEB UHAMKA)
Ramadhan telah tiba dan berjalan hampir sepekan. Bagi umat Muslim, Ramadhan tak hanya sebatas menunaikan ibadah puasa. Lebih dari itu, momentum Ramadhan justru mendorong agar dilaksanakannya amalan-amalan utama guna menyempurnakan ibadah puasa.
Menilik asal kata, Ramadhan berasal dari akar kata ramda, berarti panas yang menyengat. Bangsa Babylonia menggunakan luni-solar calendar (penghitungan tahun berdasarkan bulan dan matahari sekaligus). Bulan kesembilan selalu jatuh pada musim panas yang sangat menyengat dan Ramadan merupakan nama bulan ke-9 dalam kalender Islam.
Setelah umat Islam mengembangkan kalender berbasis bulan, yang rata-rata 11 hari lebih pendek dari kalender berbasis matahari, bulan Ramadhan tak lagi selalu bertepatan dengan musim panas. Orang lebih memahami 'panas'-nya Ramadhan secara metafor. Dari akar kata tersebut, Ramadhan digunakan untuk mengindikasikan adanya sensasi panas saat seseorang kehausan.
Pendapat lain mengatakan, kata Ramadhan digunakan karena pada bulan itu dosa-dosa dihapuskan oleh perbuatan baik sebagaimana matahari membakar tanah. Namun kata Ramadhan tidak dapat disamakan artinya dengan Ramadhan. Dalam bahasa Arab, Ramadhan ini artinya orang yang sakit mata mau buta.
Di sini, sepatutnya momentum Ramadhan itu dimanfaatkan oleh penganut Islam untuk mencairkan, menata ulang dan memperbaharui kekuatan fisik, spiritual dan tingkah lakunya, sebagaimana panas merepresentasikan sesuatu yang dapat mencairkan materi.
Ramadhan juga berasal dari kata dasar "Ramadiyu" yang berarti "hujan". Ini terlihat pada akhir musim panas, pada awal musim gugur dan membersihkan bumi dari debu. Seperti hujan yang mencuci permukaan bumi, bulan Ramadhan mensucikan orang beriman dari dosa dan membersihkan hati mereka.
Di hari-hari Ramadhan orang berpuasa, kerap kali tenggorokan mereka terasa panas sebab kehausan. Atau, diharapkan dengan ibadah-ibadah Ramadhan maka dosa-dosa terdahulu menjadi hangus terbakar dan seusai Ramadan orang yang berpuasa tak lagi berdosa.
Dari uraian tentang makna Ramadhan tersebut, dapat dipahami bulan Ramadhan ini tidak hanya secara bahasa memanaskan dan menyejukkan. Secara istilah, Ramadhan juga bermakna untuk meraih sebuah keberhasilan. Kalau dalam dunia pendidikan adalah kelulusan, ijazah, gelar akademik, dan sebagainya, maka manusia harus siap ditempa dengan segala kesulitan dan tantangan di masa Ramadhan ini.
Jika dapat melaluinya dengan baik dan benar, ia akan lulus mendapatkan predikat takwa dan kembali menjadi seperti manusia yang baru dilahirkan (idul fitri).
Sebagai madrasah (sekolah), Ramadhan telah menjadikan para siswanya hidup secara teratur. Berpuasa membuat hidup pelakunya tertata. Orang yang berpuasa akan berbuka dan mengakhiri puasa pada waktu yang sama (imsyak). Tak ada yang lebih dulu atau lebih akhir karena kehormatan, harta, atau embel-embel status sosial lainnya. Orang berpuasa dilatih menjaga lisannya. Sepatutnya ucapannya lebih tertata, tak mengeluarkan perkataan kasar, berbohong, bergunjing, sampai tidak boleh memasukkan makanan dan minuman secara sembarangan.
Hal ini seperti sabda Rasulullah Saw: “Di antara perbuatan yang baik adalah meninggalkan perbuatan yang tidak bermanfaat”. Dalam hadits lain: “Bukanlah puasa itu hanya sekadar menahan makan dan minum, tapi puasa itu juga adalah menghentikan omong kosong dan kata-kata kotor”.
Lebih tegasnya, mereka yang berpuasa akan mengerjakan dan mengatakan sesuatu yang bermanfaat saja. Jadi semoga kita semua dapat menyelesaikan madrasah Ramadhan ini dengan sempurna. Wallahua’lam.