Senin 29 Jun 2015 06:05 WIB

Sudahkah Mengevaluasi Puasa Kita?

Red: M Akbar
Ilustrasi mengaji membaca alquran beribadah TPA
Foto: Republika/ Tahta Aidilla
Ilustrasi mengaji membaca alquran beribadah TPA

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Widdi Aswindi

Ramadhan telah melewati sepuluh hari pertamanya. Tentu banyak hal tersisa untuk dievaluasi. Salah satu yang kerap muncul adalah berat badan. Ah, inilah pertanyaan yang paling sering terdengar,''Sudah turun berapa kilo, bro?"

Umumnya, jawaban yang terlontar sangat beragam. Tapi kira-kira penurunan berat badan itu di rentang 1-3 kilogram. Nah, bagi mereka yang menyandang status 'gembrot', pertanyaan semacam ini rasanya selalu senang ditunggu.

Terkadang hal semacam ini kerap memberikan rasa bangga bahwa hasil diet melalui puasa Ramadhan kali ini sudah on the right track. Bagi yang sudah kurus, pertanyaan tersebut kerap bermuara pada jawaban lebih meyakinkan bahwa puasanya sudah benar dan sungguh-sungguh. Tapi jika mau jujur, puasa kali ini sesungguhnya membuktikan diri yang kian kerempeng alias kurus.

Alhamdulillah saya punya istri yang tidak pernah bertanya semacam itu semua. Rasanya nyaris tak terdengar pertanyaan saya sudah turun berapa kilo. Mungkin ia malu juga mendengar jawabannya karena berat badan ini tak mampu turun-turun. Hahaha....

Tapi saya sungguh bangga kepadanya karena ia justru lebih senang bertanya,''Sudah juz berapa ngajinya?'' Alhamdulillah, setiap istri tercintaku itu bertanya, selalu saja ada rasa malu yang tersirat di hati. ''Masa ngak memberikan contoh bisa khatam Alquran di bulan Ramadhan ini,'' begitu gumamku dalam hati.

Namun tanpa terasa pertanyaan dari hari ke hari yang diulang oleh sang istriku itu justru memunculkan juga rasa malu kepada Allah. Jangan-jangan saya belum masuk ke dalam Islam yang sebenarnya. Syahadat, shalat, shaum dan zakat saya jangan-jangan masih sebatas 'seadanya' saja.

Mari sejenak saja kita merenung. Apakah makna syahadat itu masih bersifat seadanya jika dibandingkan kesaksian pada kehidupan duniawi? Utamanya, ketakutan kepada selain Allah, seperti pada teman, atasan maupun kolega.

Lalu shalat saya ini apakah masih berkadar seadanya? Sudahkah shalat ini mampu menjadi pembeda untuk memisahkan yang benar dan salah? Situasi itu pantas dipertanyakan karena saat ini begitu banyak tayangan televisi yang terlihat lebih menggoda ketika waktu shalat tiba. Kemudian lagi, apakah shalat saya itu sudah membuat masjid menjadi tempat yang lebih rutin dikunjungi dibandingkan shopping ke mal ataupun memenuhi tempat belanja hobi?

Selanjutnya juga bagaimana dengan shaum. Rasanya sih sudah jelas seperti cerita di awal. Ritual shaum ini ternyata lebih sering dipakai sebagai sarana diet ketimbang menjadikannya sebagai ibadah serta sarana mengurangi kesibukan duniawi dan memperbanyak amalan.

Begitu juga dengan zakat! Apakah saat menunaikan zakat ini saya hanya terjebak pada kewajiban yang dihitung matang karena niatnya jangan sampai kekayaan terkurangi terlalu banyak? Lalu apakah tersirat di hati kalaupun disalurkan hanya sekedar untuk pamer dan terlihat 'berzakat'?

Kemudian bagaimana juga dengan haji! Rasanya sih saya sudah mendaftar, hanya soal menunggu waktu keberangkatan saja. Sekali lagi inilah sesuatu yang jelas-jelas belum saya kerjakan. Namun tentunya sampai kini terus saja tercurah harapan di hati mudah-mudahan ada umur untuk menyambangi Rumah Allah itu.

Jika sudah demikian, rasanya pantas untuk mengukur peran saya di dunia ini ternyata belum punya arti apa-apa. Keislaman saya apakah sudah benar-benar menjadi rahmat bagi sekeliling?

Dari semua itu, saya masih beruntung karena sang istri selalu saja menyimpan pertanyaan, sudah berapa juz saya membaca Alquran pada Ramadhan kali ini. Kitab yang menjadi kalam Allah, buku panduan yang penuh hikmah dan dokumen yang paling sejati tanpa tambahan apapun, selain firman Allah.

Lantas setelah dipikir-pikir, subhanallah ketika pertanyaan sudah berapa juz yang terbaca ternyata hal itu membuat kita menjadi lebih dekat kepada Sang Khalik. Inilah pertanyaan yang membawa berkah bagi saya. Hal lainnya, apa yang sudah terjadi itu sepatutnya memberikan isyarat bahwa masih banyak yang harus saya perbaiki dan perbuat. Tentunya, semua ini bukan untuk siapapun kecuali untuk menolong diri saya sendiri.

Mudah-mudahan pertanyaan itu akan terus berkembang menjadi pertanyaan-pertanyaan yang menginspirasi; berapa anak yatim yang sudah kita urus? Seberapa sering shalat di masjid? Ini uang dari mana? Lalu yang terpenting, seberapa banyak ayat Alquran dan perintah Rasulullah yang sudah kita kerjakan?

Semoga semua shaum kita kali ini dapat berujung pada kebaikan dan ketakwaan. Bukan shaum yang sekedar membuat kita makin langsing atau kurus, apalagi terlihat semakin ganteng karena baju baru yang sudah kita siapkan untuk Lebaran. Selamat menakar diri kita!

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement