REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Khairil Miswar (penulis tinggal di Bireuen)
Setelah terjadi 'ketegangan' dalam beberapa hari terakhir, polemik tata laksana ibadah di Masjid Raya Baiturrahman akhirnya terjawab. Para mujahid media sosial menyebarkan selembar surat yang ditandangani oleh gubernur dan beberapa tokoh agama di Aceh.
Kabarnya, tata laksana ibadah di Masjid Raya Baiturrahman telah kembali kepada ahlussunnah waljamaah yaitu dengan penerapan fiqih syafi’iyah. Hasil 'negosiasi' ini dianggap sebagai solusi sementara.
Hasil selanjutnya masih menunggu muzakarah ulama yang akan dilaksanakan oleh Majelis Permusyawarat Ulama (MPU). Namun setidaknya 'kesepakatan' tersebut untuk sementara waktu telah berhasil meredam 'konflik'. Untuk itu, langkah ini patut kita apresiasi, walaupun dalam 'tanda kutip'.
Tapi di balik kisah ini, ada beberapa hal yang rasanya perlu dibahas kembali. Tujuannya tentu saja bukan untuk memperkeruh, apalagi menggugat 'ketentraman' yang telah dirajut. Pembahasan ini hanya sekedar mengurai 'benang kusut' yang terlanjur merasuk ke dalam kalbu sebagian kaum muslimin di tanoh indatu.
Jika dicermati, 'kisruh' terkait tata laksana ibadah di Masjid Raya Baiturrahman yang berlangsung 'alot' akhir-akhir ini, kita akan dihadapkan pada beberapa isu yang sulit dipahami. Sebagian kalangan (via media sosial) menduga 'kisruh' Masjid Raya ini merupakan satu momen yang sengaja diciptakan demi kepentingan politik.
Ada pula sebagian pihak (juga via media sosial) yang menyebut fenomena yang terjadi di Baiturrahman sebagai 'konflik' antara profesor dan ulama (tepatnya Teungku Dayah). Isu lainnya yang tak kalah menarik adalah isu wahabi. Kelompok terakhir disebut selama ini telah 'menguasai' Baiturrahman. Ternyata isu terakhir inilah yang paling ramai digunjingkan di media sosial.
Dalam tulisan ini, saya hanya ingin mengulas sedikit terkait isu wahabi. Isu tersebut lumayan 'laris' dan 'laku keras' jika dihubungkan dengan 'kisruh' Masjid Raya Baiturrahman. Sejumlah pihak menuding selama ini Masjid Raya Baiturrahman telah dikuasai oleh wahabi. Tata laksana ibadah dianggap tak sesuai dengan ahlussunnah waljamaah dan mazhab syafi’i (tepatnya syafi’iyah).
Saya melihat alasan inilah yang dijadikan 'dalil' oleh sebagian pihak untuk mengembalikan Masjid Raya Baiturrahman ke dalam pangkuan ahlussunnah waljama’ah. Khususnya di Aceh, stigma wahabi umumnya dilekatkan kepada pihak-pihak non dayah.
Analisis saya, pihak non dayah ini terbagi ke dalam dua golongan. Pertama, golongan yang memang tidak pernah mengecap pendidikan di dayah. Mereka ini para siswa yang menempuh pendidikan di sekolah-sekolah agama dan juga mahasiswa yang belajar agama di perguruan tinggi.
Kedua, golongan yang pernah belajar di dayah, tetapi kemudian meninggalkan pola pikir doktrinal serta terbuka kepada pemikiran-pemikiran baru. Alhasil, identitas 'kedayahannya' tak lagi dominan. Oleh sebagian masyarakat, dua golongan ini cenderung disebut sebagai wahabi.
Di sisi lain, jika dikerucutkan, pengertian ahlussunnah dalam pemahaman sebagian masyarakat Aceh sebenarnya sangat sederhana, di mana ahlussunnah itu dimaknai sebagai 'bertauhid asyari, berfiqih syafi’i dan bertashawuf Ghazali'. Dengan demikian, jika ada pihak-pihak yang tidak bertauhid Asy’ari, tidak berfiqih Syafi’i dan praktek tashawufnya tidak sesuai dengan Ghazali, orang tersebut digolongkan sebagai wahabi.