REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Faisal Ismail (Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Islam adalah seperangkat doktrin sebagaimana tertera dalam Alquran dan sunah Nabi. Ketika Islam disiarkan dan diamalkan oleh pemeluknya di suatu ruang dan waktu (di Nusantara), di situ nilai-nilai Islam berinteraksi dengan tatanan adat, kebiasaan, budaya, dan nilai-nilai agama/kepercayaan non-Islam yang berkembang dalam kehidupan masyarakat setempat.
Terjadi konversi dari agama/ kepercayaan non-Islam ke agama Islam. Konversi ke agama Islam tidak terjadi secara menyeluruh, masih ada sisa-sisa agama/kepercayaan lama yang tertinggal. Sedekah laut yang dilakukan oleh sebagian masyarakat muslim pada musim tertentu atau kepercayaan kepada Nyai Roro Kidul adalah contoh kepercayaan lama yang masih melekat pada sebagian masyarakat (muslim).
Salah besar jika fenomena ini disebut ”Islam Jawa Tengah yang percaya kepada Nyai Roro Kidul.” Akidah tauhid Islam sama sekali tidak ada hubungannya dengan kepercayaan kepada Nyai Roro Kidul. Tidak dinafikan, sebagian muslim masih ada yang percaya kepada Nyai Roro Kidul.
Harap tidak dikacaukan antara Islam (sebagai agama) dan muslim (sebagai penganut agama Islam). Islam sangat menoleransi adat, kebiasaan, dan budaya yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam yang berkembang dalam masyarakat.
Misalnya, masjid di Nusantara tidak harus sama dengan masjid di Arab Saudi. Budaya lokal memengaruhi bentuk-bentuk masjid di Nusantara. Pernikahan secara agama Islam adalah sama bagi semua pemeluk Islam, tetapi upacara adatnya bisa berbeda di kalangan misalnya komunitas muslim di Jawa dan muslim di Minangkabau.
Tidak tepat kalau upacara budaya perkawinan di Jawa dan di Minangkabau itu disebut ”Islam Minangkabau” dan ”Islam Jawa.” Itu tradisi dan budaya muslim Minang dan muslim Jawa, bukan (doktrin atau ajaran) Islam.
Komunitas Nahdlatul Ulama mempraktikkan tahlil, tarekat, dan tawasul. NU menilai, praktik ini tidak bertentangan dengan Islam. Salah besar kalau dikatakan tradisi NU itu sebagai ”Islam NU.” Tidak ada Islam NU. Yang ada adalah tradisi keagamaan komunitas NU. Karena merupakan tradisi atau budaya, komunitas muslim non-NU boleh saja tidak mempraktikkan tahlil, tarekat, dan tawasul.
Saya berpendapat, di mana saja (Yaman, Suriah, Irak, Mesir, Malaysia, Pakistan, dan Indonesia) Islam mengajarkan keramahan, kerukunan, dan perdamaian. Kekerasan dan peperangan di suatu negara muslim tertentu harus dilihat dari konstelasi politiknya.
Di Indonesia pada 1960-an terjadi pemberontakan Darul Islam pimpinan Kartosuwiryo (Jawa Barat), Daud Beurureh (Aceh), dan Kahar Muzakkar (Sulawesi Selatan). Pada 1980-an muncul gerakan Komando Jihad pimpinan Imran. Konflik destruktif Poso dan Ambon awal 2000 juga melibatkan kelompok muslim. Imbasnya, ”Islam Nusantara” tidak ramah pada waktu itu.
Begitu pun halnya situasi di Yaman dan Suriah saat ini. Sebagai doktrin, Islam di kedua negara tersebut mengajarkan keramahan, kerukunan, toleransi, dan perdamaian. Jika sekarang ini terjadi kekerasan dan peperangan di dua negara itu, yang disalahkan adalah kelompok-kelompok muslim yang bertikai.
Yang dituding sebagai pemicu konflik, bukan ”Islam Yaman” atau ”Islam Suriah” yang dinilai keras oleh para pendukung ”Islam Nusantara” yang ramah dan santun. Saya setuju dan mendukung sepenuhnya agar konflik dan kekerasan politik seperti di Suriah dan Yaman tidak terjadi di negeri ini.