Selasa 14 Jul 2015 12:00 WIB

Menggagas Indonesia Menjadi Poros Maritim Dunia (2-Habis)

Red: M Akbar
Rokhmin Dahuri
Foto: Yasin Habibi/Republika
Rokhmin Dahuri

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Prof.Dr.Ir. Rokhmin Dahuri, MS (Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB)

Kita seluruh komponen bangsa tentunya mendukung upaya pemerintah untuk menumpas IUU fishing dan mafia perikanan sampai akar-akarnya. Namun, tidak bijaksana bila upaya tersebut melumpuhkan ekonomi dan bisnis perikanan. Harusnya yang dibabat habis itu yang jahat dan tidak bisa diperbaiki. Pengusaha, nelayan, pembudidaya, dan industriawan serta pedagang perikanan yang baik atau sedikit 'nakal' mestinya lebih dibesarkan dan dibina. 

Mulai sekarang, kita harus merevitalisasi seluruh unit usaha (bisnis) perikanan yang ada. Caranya dengan meningkatkan produktivitas, efisiensi, dan keberlanjutan melalui aplikasi IPTEK dan manajemen yang tepat. 

Secara simultan, kita buka usaha perikanan di kawasan pesisir, pulau kecil, dan lautan yang belum tersentuh pembangunan. Lalu kita bisa mengembankan usaha dan ekonomi perikanan baru. Seperti budidaya di laut lepas (offshore mariculture), budidaya tambak dengan produktivitas tinggi dan ramah lingkungan (seperti BUSMITEK, probiotik, dan bioflock), industri pengolahan dan pengemasan produk perikanan yang tanpa limbah dan berdaya saing tinggi, dan industri bioteknologi kelautan. 

Ke depan, setiap unit usaha perikanan harus memenuhi skala ekonominya. Secara nomimal income ditarget minimal Rp 4 juta/orang/bulan. Selain itu, usaha perikanan mesti menerapkan pendekatan sistem rantai suplai terpadu. Yakni, produksi – pengolahan (pasca panen) – pasar dengan aplikasi teknologi mutakhir pada setiap mata rantai suplai. 

Tak kalah penting, semua usaha perikanan harus bersifat ramah lingkungan dan inklusif guna menjamin kelestarian sumber daya dan keadilan sosial. Lalu pemerintah wajib menyediakan infrastruktur seperti pelabuhan perikanan, jaringan irigasi tambak, listrik, telkom, jalan, dan air bersih. Demikian halnya dengan sarana produksi perikanan seperti alat tangkap, BBM atau energi terbarukan, benih, pakan, dan perbekalan melaut. Semuanya harus berkualitas, relatif murah, dan mencukupi.

Kemudian pemerintah dapat bekerjasama dengan swasta atau melalui BUMN. Kerjasama ini untuk menjamin pasar komoditas perikanan dari hasil tangkapan nelayan maupun pembudidaya dengan harga sesuai nilai keekonomiannya. 

Lantas perlu juga dukungan besar dari dana APBN dan perbankan yang mencukupi. Karena ekonomi kelautan ini merupakan frontier industry maka perlu disediakan skim kredit khusus. Contohnya seperti kredit likuiditas (policy banking) yang telah sukses mendukung ekonomi dan industri sawit dan tekstil pada masa Orde Baru sampai sekarang.

Lalu, kita dapat mengusahakan 600 ribu ha tambak (27 persen dari total luas lahan pesisir Indonesia yang cocok untuk budidaya udang  dan rumput laut). Alokasinya, untuk budidaya udang Vanammei intensif seluas 200 ribu ha, untuk budidaya Vanammei semi-intensif 100 ribu ha; untuk budidaya udang windu semi-intensif 200 ribu ha, dan 100 ribu ha untuk budidaya rumput laut Gracillaria spp.

Maka, pendapatan kotor (besarnya perputaran ekonomi wilayah) yang dihasilkan sekitar 70 miliar dolar AS (Rp 910 triliun, hampir separuh APBN 2015). Tenaga kerja yang terserap diproyeksikan bisa mencapai 9 juta orang. Belum lagi, kalau kita mampu mengembangkan usaha mariculture yang potensi produksinya sekitar 45 juta ton/tahun. Sayangnya, potensi ini baru diproduksi sekitar 15 persennya. 

Untuk perikanan tangkap, kita dapat kembangkan sedikitnya 5.000 unit kapal ikan nasional berukuran di atas 100 GT dengan alat tangkap yang efisien dan ramah lingkungan. Pemanfaatannya untuk sumber ikan di wilayah-wilayah laut yang selama ini menjadi ajang pencurian ikan (illegal fishing) oleh nelayan asing atau yang masih underfishing. Diantaranya tersebar di Laut Arafura, L. Banda, L. Sulawesi, Teluk Tomini, Laut Natuna, dan ZEEI (Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia) di Samudera Hindia dan Pasifik.

Kapal-kapal ikan dan nelayan yang selama ini beroperasi di wilayah laut yang telah overfishing, seperti perairan Pantura dan perairan pantai lainnya, harus dilatih supaya mampu beroperasi di wilayah-wilayah laut yang masih underfishing atau laut lepas (ocean-going fisheries). 

Nelayan tradisional yang sebagian besar masih miskin harus ditingkatkan kapasitas dan etos kerja sehingga pendapatannya minimal Rp 4 juta)/nelayan/bulan. Angka ini berasal dari 2 dolar AS/orang/hari (garis kemiskinan versi Bank Dunia) dikalikan dengan 5 orang (rata-rata ukuran keluarga nelayan) dan dikalikan dengan 30 hari dengan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sekitar Rp 13.000. 

Semua itu diharmonikan dengan konsep pembangunan perikanan berkelanjutan (sustainable fisheries development) dengan pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan, dan proteksi lingkungan. Harapannya sektor perikanan kelak bisa berkontribusi signifikan dalam mengatasi permasalahan kekinian bangsa. Tak lupa, nantinya mendorong Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia pada 2025.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement