REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Muhammad Sulton Fatoni
(Wakil Sekjend PBNU; Dosen Sosiologi UNU Indonesia)
Setiap menjelang Ramadhan berakhir, Pemerintah menggelar sidang itsbat untuk menentukan 1 Syawal sebagai prasyarat Hari Raya Idul Fitri. Tahun ini, pemerintah telah umumkan akan melakukan Sidang Itsbat pada 16 Juli atau 29 Ramadan mendatang. Namun Sidang Itsbat diselenggarakan teriring dengan indikasi penetapan 1 Syawal yang berbeda dari dua ormas Islam terbesar di Indonesia, yakni Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). Muhammadiyah sudah menetapkan 1 Syawal pada 17 Juli, sedangkan PBNU sudah menyampaikan sinyal bakal ada perbedaan dalam penetapan 1 Syawal ini.
Selama ini Kementerian Agama menggelar Sidang Itsbat mendasar pada UU Nomor 3 Tahun 2006 khususnya Pasal 52 A yang menyebutkan bahwa pengadilan agama memberikan penetapan (istbat) kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan pada tahun Hijriyah. Operasionalnya begini: Menteri Agama minta pengadilan agama agar memberikan penetapan (itsbat) terhadap kesaksian orang yang telah melihat hilal bulan pada setiap memasuki bulan Ramadhan dan awal Syawal tahun Hijriyah. Penetapan pengadilan tersebut digunakan Menteri Agama untuk mengeluarkan penetapan secara nasional 1 Ramadhan dan 1 Syawal.
Prinsip sidang itsbat seharusnya mampu menyuarakan hati nurani masyarakat Islam yang menginginkan kepastian berakhirnya puasa Ramadhan dan kepastian Idul Fitri. Sidang itsbat juga harus dapat menyelesaikan masalah yang timbul sebelum sidang itsbat, bukan justru memelihara masalah apalagi memperuncing masalah. Jika NU dan Muhammadiyah telah mengabarkan prediksinya tentang perbedaan waktu berakhirnya puasa Ramadhan dan waktu Hari Raya Idul Fitri, sidang itsbat yang digelar Pemerintah idealnya dapat menyelesaikan perbedaan tersebut. Namun faktanya tidak. Maka jika Sidang Itsbat tidak mampu menyelesaikan persoalan sebelum terjadinya sidang itsbat, masih perlukah Pemerintah tetap menggelar sidang tersebut?
Mengurai Persoalan
Persoalan klasik yang masih belum mampu dituntaskan umat Islam Indonesia adalah menyatukan sikap tentang metode penentuan kalender Hijriyyah. Sebagaimana maklum bahwa kalender hijriyyah menganut dua basis ilmiah, pertama, metode hisab yang berpatokan pada gerak benda langit, khususnya matahari dan bulan faktual (Muhammadiyah, 2015). Kedua, ru’atul hilal bil fi’li yang mengacu pada penglihatan dan pengamatan hilal secara langsung di lapangan pada hari ke 29 (malam ke 30) dari bulan yang sedang berjalan; apabila ketika itu hilal dapat terlihat, maka pada malam itu dimulai tanggal 1 bagi bulan baru atas dasar rukyat hilal; tetapi apabila tidak berhasil melihat hilal, maka malam itu tanggal 30 bulan yang sedang berjalan dan kemudian malam berikutnya dimulai tanggal 1 bagi bulan baru atas dasar istikmal (PBNU, 2007). Dua pendekatan di atas terkadang secara faktual menemukan kesamaan namun juga sering tidak sama.
Seja 1954 melalui Muktamar NU ke 20 di Surabaya, persoalan perbedaan metode yang berimplikasi pada keputusan yang berbeda telah menjadi isu hangat di kalangan NU. Forum Muktamar NU akhirnya merumuskan solusi agar perbedaan metode tersebut tidak sampai menimbulkan perbedaan penetapan. Keputusan Muktamar NU tersebut di antaranya, pertama, NU mengikuti metode ru’yatul hilal bil fi’li sebagaimana tuntunan Rasulullah SAW.
Kedua, Metode penetapan hisab tidak terdapat di era Rasulullah. Ketiga, seseorang atau kelompok tidak boleh menginformasikan hasil metode hisabnya sebelum ada ketetapan (itsbat) Pemerintah. Keempat, Pemerintah agar melarang pihak-pihak yang mengumumkan hasil metode hisabnya sebelum ada pengumuman resmi Pemerintah (doc. PBNU, 1954).
Empat poin keputusan Muktamar NU tersebut dihasilkan untuk membangun suasana ibadah yang kondusif dan menghindari kegoncangan di kalangan umat Islam. Era demokrasi telah membawa kedewasaan umat Islam Indonesia. Saat ini umat Islam telah terbiasa melakukan ibadah sesuai dengan keyakinannya. Dalam konteks ibadah Ramadhan dan Idul Fitri, dua poros ‘mazhab’ NU dan Muhammadiyah telah dikenal cukup familiar dan perbedaan hasil dari keduanya yang berimplikasi pada perbedaan praktik pun tidak lagi menimbulkan kegoncangan masyarakat Muslim Indonesia. Setidaknya kekhawatiran para kiai dalam Muktamar NU 1954 saat ini tidak lagi signifikan.
Namun terdapat tuntutan kebutuhan umat Islam lainnya, yaitu kebersamaan dan kekompakan. Umat Islam tidak mempersoalkan perbedaan di kalangan mereka. Hanya saja mereka semakin nyaman dan nikmat saat ada kebersamaan dan kekompakan. Capaian peradaban ini patut disyukuri dan menjadi tugas penting bagi semua pihak untuk melanjutkan proses bangunan peradaban ini. Fenomena Muslim Indonesia saat ini yang tidak lagi mempersoalkan ‘benar-salah’ antara NU dan Muhammadiyah seharusnya menyadarkan Pemerintah untuk mengupayakan kebersamaan dan kekompakan kedua pengikut organisasi tersebut.
Solusi NU
Poin penting dari keputusan Muktamar NU 1954 adalah pengakuan NU terhadap keputusan pemerintah terkait persoalan keagamaan. Penetapan awal Ramadhan dan Idul Fitri adalah ranah Pemerintah. Sedangkan kekuatan civil society mempunyai hak untuk beribadah sesuai dengan keyakinannya. Perkembangan positif ini perlu disikapi pemerintah secara serius agar harapan terwujudnya peradaban yang lebih berkualitas dapat terwujud.
Beberapa langkah strategis dapat dilakukan Pemerintah untuk memenuhi harapan kebersamaan dan kekompakan umat Islam Indonesia. Pertama, pemerintah perlu memfasilitasi NU dan Muhammadiyah untuk duduk bersama merumuskan konsep yang dapat diterima oleh kedua belah pihak. Dua kekuatan civil society tersebut memerlukan forum permanen yang sewaktu-waktu dapat digunakan untuk melakukan konsolidasi dan rapat bersama untuk membahas isu-isu aktual keislaman. Kedua, pemerintah perlu mengakomodasi keputusan bersama NU dan Muhammadiyah sebagai kebijakan pemerintah terkait isu-isu penting keislaman.
Saat ini semua berbalik kepada motif baik pemerintah. Menyelesaikan perbedaan waktu pelaksanaan Idul Fitri dan lainnya tidak mungkin berhasil tanpa ada reposisi pemerintah terhadap fungsinya. Tren masyarakat reformis saat ini adalah pelayanan masyarakat, bukan doktrinasi masyarakat. Contoh doktrinasi adalah kesepakatan-kesepakatan yang dilahirkan oleh forum Menteri-menteri Agama Brunai Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS) yang salah satunya terkait kalender Islam yang dikenal dengan istilah “Visibilitas Hilal MABIMS”. Jika model kerja seperti ini diteruskan maka aktivitas Pemerintah makin menjauh dari kebutuhan riil masyarakat Islam. Catatan penting dari tulisan ini adalah sidang itsbat yang digelar pemerintah seharusnya menjadi sidang kebutuhan riil masyarakat Islam. Jika tak mampu memenuhi ekspektasi masyarakat atas kebersamaan dan kekompakan tentu sidang itsbat itu sebatas formalitas dan agenda rutin para biroktat.