REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Rahmad Darmawan (Pelatih Sepakbola)
Sudah hampir 4 bulan Indonesia tanpa aktivitas yang berarti di cabang sepak bola. Pembekuan PSSI oleh Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), lantas berlanjut dengan jatuhnya sanksi FIFA, semuanya betul-betul membuat geliat sepak bola negeri ini berhenti.
Hari-hari pemberitaan sekarang ini lebih sering terisi dengan isu di luar sepak bola. Ada soal tentang pengaturan skor di sejumlah pertandingan. Konon, permainan ini diindikasi menyangkut dengan jaringan mafia sepak bola. Korban pertama terjadi pada tim nasional U-23. Rumor tak sedap itu menerpa di saat mereka belum sampai di Tanah Air. Berita tidak sedap itu menyebar dengan mengaitkan mereka terlibat pengaturan skor saat main melawan Thailand dan Vietnam. Kebetulan juga timnas kita kalah melawan dua tim tersebut.
Sayangnya, bukti belum ada tapi stigma sudah terbangun. Seolah seluruh pemain yang belum lagi kering keringatnya sudah ditempatkan sebagai para penjahat sepak bola. Mereka harus menjadi tersangka hanya karena munculnya rekaman yang kemudian di belakang hari justru menjadi polemik.
Saya tidak bermaksud mengingat-ingat hal ini. Sesungguhnya, saya hanya ingin mengajak kita semua merasakan seperti apa dan bagaimana perasaan seluruh pihak yang terlibat di dalam timnas U-23 itu. Saya hanya berfikir, tidakkah mereka (pihak yang menuduh) berfikir bagaimana kalau ada anggota keluarganya yang ada di tim tersebut? Mereka sudah dijadikan seperti tersangka tanpa ada fakta yang menguatkan. Lalu semua itu sudah terekspos seperti seorang pahlawan yang berhasil menangkap gembong mafia.
Lalu tersiar juga berita soal rencana turnamen yang hendak mengisi kekosongan kegiatan sepak bola. Ada yang gagal di saat terakhir seperti turnamen di Banyuwangi. Lalu ada yang masih bersiap menggulirkan turnamen pascaLebaran.
Kemudian terakhir, berita tentang sidang gugatan PSSI terhadap Menpora. Pada saat pembacaan putusan, saya sengaja untuk menyempatkan hadir ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Saya ingin tahu apa permasalahannya dan mengapa semuanya bisa seperti itu. Tentunya juga, saya ingin mendengarkan langsung tentang putusan yang akan dikeluarkan hakim. Seperti yang kemudian kita ketahui, putusan jatuh dengan memenangkan gugatan PSSI terhadap Menpora.
Lalu apa maknanya? Buat saya tak penting siapa yang menang dan siapa yang kalah. Dalam benak, saya hanya berpikir kapan mereka (PSSI dan Menpora) lelah, kemudian keduanya mengatakan bahwa kami ternyata kalah semua (kalah dua-duanya). Maklum saja, dalam 4 bulan terakhir ini kami memang telah gagal membuat sepak bola menjadi lebih baik. Kami sudah membiarkan orang-orang dengan mudah memfitnah pemain-pemain nasional yang sudah memberi semua kemampuan yang mereka miliki meski mereka gagal mendapat medali.
Kami kalah....Karena telah gagal mempertahankan Timnas U-16 dan 19 yang telah berlatih selama 1 tahun untuk bermain di Piala AFF yang seharusnya diselenggarakan tahun ini di Indonesia. Kami juga kalah karena telah merebut asa mereka, asa orang tua mereka yang bangga putranya memakai kaos Garuda di dada bertanding untuk negaranya.
Kami kalah...karena kami belum bisa membuat kompetisi yang melibatkan seluruh klub di Indonesia merasakan geliat sepak bola yang bisa dirasakan seluruh klub dan pecintanya. Kami kalah....karena kami gagal memenuhi hak-hak ribuan pesepakbola yang terpaksa tidak berpenghasilan kembali karena berhentinya kontrak mereka akibat kami yang bertikai.
Saya ingin semua ini segera disudahi. Bahasa hukum terlalu sulit buat dimengerti oleh kami, para pemain dan pelatih. Kami ingin nadi sepak bola kembali berdenyut. Harapannya, mungkin hal ini bisa segera mengatasi kesulitan-kesulitan kami. Kami tidak ingin ada perpecahan, ada dualisme klub/Askab/Asprov yang dampaknya pernah kita rasakan bersama.
Bahkan perpecahan itu sampai terjadi pada akar rumput (suporter). Kami ingin Menpora bersama PSSI saling bersinergi, membangun potensi anak negeri ini untuk meraih prestasi tertingginya. Dan, kami yakin itu bisa terjadi. Pak...kami lelah. Sudahilah pertikaian ini. Semoga suasana Idul Fitri akan membawa kita menjadi orang-orang pemaaf.