REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Khairil Miswar (Mahasiswa Pasca Sarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh)
Pada dekade 1990-an, memiliki pesawat telepon rumah rasanya sudah dianggap sebagai “orang kaya”. Masih teringat oleh saya ketika orang tua di rumah memiiki pesawat telepon di rumah pada 1996. Saat itu saya masih kelas tiga MTsN.
Sepulang sekolah, saya selalu duduk di depan box telepon. Saya sangat senang menunggu suara telepon berdering. Saat itu, biasanya saya akan “melompat-lompat” kegirangan ketika tiba-tiba telepon mengeluarkan suara “tlululu- tlululu- tlululu”.
Saya pun langsung berteriak,“Mak telepon…telepon…” Kalau sekarang diingat-ingat, rasanya memang “memalukan”. Saya hanya bisa tertawa di dalam diri. Tapi, begitulah faktanya ketika itu. Bagi saya dan juga masyarakat di kampung saya, telepon pada saat itu adalah barang mewah.
Lagi pula, pada saat itu, orang-orang yang memiliki telepon dapat dihitung dengan jari. Saya yakin, hal serupa juga dialami oleh masyarakat Indonesia pada umumnya, kecuali masyarakat perkotaan yang mungkin sudah duluan lebih maju dari kami yang ada di ujung Sumatera ini.
Sebenarnya, tidak hanya telepon. Memiliki televisi layar cembung juga sudah luar biasa. Apalagi waktu itu cuma ada satu siaran televisi, yakni TVRI. Mau tidak mau, suka tidak suka, cuma siaran TVRI sajalah yang kita punya. Pada saat itu, kita begitu akrab dengan film Si Unyil, Ria Jenaka, Aneka Ria Safari, Camera Ria, Album Minggu Kita, Dunia Dalam Berita dan beberapa tontonan klasik lainnya.
Menariknya lagi, saat itu muka kita akan “memerah” dan bahkan “naik darah” jika tiba-tiba TVRI menyiarkan Laporan Khusus. Pasti banyak yang “tepuk jidat” bila bertemu dengan tontonan yang satu ini. Tapi itu semua adalah masa lalu.
Nah, bagaimana dengan masa kini? Tentunya kita tidak pernah menyangka kalau teknologi informasi dan komunikasi sudah berkembang begitu cepat. Dulu, telepon rumah saja masih menjadi barang langka dan terasa mewah. Tapi sekarang, alat komunikasi seperti telepon rumah itu secara perlahan sudah mulai ditinggalkan.
Dulu, dalam satu kampung biasanya hanya ada satu telepon rumah. Kalau sekarang, anak “belum baligh” saja sudah bebas bergumul dengan iPhone, iPod, iPad dan beragam merk tablet. Dulu, untuk mengirimkan surat saja kita membutuhkan waktu bermingu-minggu, padahal jaraknya hanya 200-300 km. Sekarang, dengan menggunakan e-mail, kita bisa mengirimkan sejumlah berkas ke luar negeri hanya dalam hitungan detik, tanpa harus menghabiskan banyak biaya.
Dulu, seorang ibu yang ingin mengobati kerinduan pada anaknya di rantau hanya bisa mendengar suara anaknya via telepon. Sang ibu tanpa bisa memastikan apakah benar orang yang berbicara tersebut adalah anaknya, atau hanya orang lain yang sedang “menyamar” menjadi anaknya. Sekarang, para remaja justru bisa “berleha-leha” dengan “kekasihnya” dengan video call.
Apalagi saat ini, media sosial pun sudah “menjamur” dan sudah menjadi “teman akrab” bagi sebagian masyarakat, baik tua maupun muda. Begitulah zaman yang terus berkembang. Ibaratnya, kita harus terus berpacu agar tak ketinggalan kereta. Namun demikian, di tengah “semaraknya” perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang “tanpa batas”, tentunya kita harus memiliki bekal moral yang cukup agar kita tidak “terhanyut” dalam arus yang semakin dahsyat itu.