Senin 20 Jul 2015 04:28 WIB

Tragedi Tolikara dan Sikap Kita (1)

Red: M Akbar
Sisa-sisa masjid Tolikara yang dibakar
Sisa-sisa masjid Tolikara yang dibakar

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Khairil Miswar (Mahasiswa Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh)

Hari raya Idul Fitri yang jatuh pada 17 Juli 2015 (1 Syawal 1436 H) dirayakan serentak oleh mayoritas muslim di Indonesia dari Sabang sampai Marauke. Namun sayangnya, kesyahduan Idul Fitri tahun ini telah terusik akibat tindakan anarkis-radikal oleh pihak-pihak yang tidak paham atau bahkan anti toleransi.

Minoritas muslim di Kabupaten Tolikara telah ditindas secara brutal oleh sekelompok anak bangsa yang menyebut diri sebagai Gereja Injili di Indonesia (GIDI). Bagi para pelaku, atau pun pihak-pihak lain yang pro pada tindakan “barbarian” ini tentu akan tersenyum lebar. Seakan mereka tersenyum karena berhasil membuat umat Islam kocar-kacir dan shock.

Namun bagi umat Islam, tidak hanya di Tolikara, tetapi di seluruh penjuru negeri, akan menganggap tindakan primitif tersebut sebagai sebuah tragedi yang telah melukai kaum muslimin. Tragisnya lagi, aksi yang jauh dari nilai-nilai peradaban modern tersebut terjadi pada hari suci dan bahkan sakral.

Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi telah berhasil membuat berita yang sedianya hanya diketahui oleh beberapa orang tersebut tersebar luas bak virus. Ia sudah menjadi konsumsi publik, hanya dalam hitungan detik.

Jika tragedi ini terjadi di masa lalu, bukan tidak mungkin ia akan tenggelam dalam pusaran masa akibat mandulnya media-media mainstream yang dikekang oleh rezim otoriter – atau pun disebabkan oleh kehendak mereka sendiri (media) yang memilih berkonspirasi dengan penguasa. Alhamdulillah, kemajuan teknologi saat ini telah berhasil mencerdaskan keawaman publik yang dulunya miskin informasi. Tidak ada lagi yang bisa ditutupi di zaman ini, di mana arus informasi mengalir deras menyisir lorong-lorong sepi di seluruh penjuru negeri.

Dari Surat sampai Speaker

Pascakejadian di Tolikara, media berlomba-lomba menyajikan berita yang kemudian ditanggapi secara beragam oleh publik. Konon, sebelum tragedi itu terjadi, Gereja Injili di Indonesia (GIDI) pernah mengeluarkan surat tentang pelarangan shalat Ied dan juga pelarangan kaum muslimah memakai jlbab di Kabupaten Tolikara.

Jika surat ini benar adanya maka tindakan GIDI telah mendobrak konstitusi RI. Di dalam UUD 1945 sudah jelas tertulis kebebasan beragama dan menjalankan ibadah telah diatur dan harus ditaati oleh setiap anak negeri. Jangan sampai hanya karena ingin mempertahankan hegemoni mayoritas lantas mencabik-cabik konstitusi.

Aceh sebagai provinsi yang dihuni oleh mayoritas muslim dan bahkan telah mendapat izin dari UU untuk melaksakan syariat Islam secara kaffah justru sangat menghargai keberadaan pemeluk-pemeluk agama lain seperti Kristen dan Budha. Saya menyarankan kepada pihak GIDI untuk sesekali “piknik” ke Aceh agar bisa melihat bagaimana kaum muslimin di Aceh menghargai dan memperlakukan non muslim secara terhormat.

Kabar lainnya menyebut bahwa aksi pembakaran masjid di Tolikara disebabkan oleh suara speaker. Saya melihat ini sebagai sebuah sikap apologis yang cenderung tidak rasional dan terlalu dipaksakan guna melakukan justifikasi terhadap ektrimisme. Yang penting dilakukan saat ini bukanlah mencari kambing hitam, tetapi penegakan hukum dengan menangkap para pelaku. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement