Senin 20 Jul 2015 05:00 WIB

Tragedi Tolikara dan Sikap Kita (2-Habis)

Red: M Akbar
Sisa-sisa masjid Tolikara yang dibakar
Sisa-sisa masjid Tolikara yang dibakar

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Khairil Miswar (Mahasiswa Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh)

Di sisi lain, tragedi Tolikara juga telah mengguncang para “penghuni” dunia maya. Pascatragedi tersebut, media sosial pun dipenuhi dengan beraneka komentar yang jika dibulatkan akan bermuara pada empat sikap.

Pertama, sikap apatis dan mengabaikan realitas yang terjadi, bahkan menjadikan kasus tersebut sebagai bahan olok-olok terhadap umat Islam. Kelompok ini diwakili oleh Ulil Abshar Abdala Cs yang konon telah menelurkan komentar sinis di akun twitternya.

Kedua, sikap mengecam dan mengutuk tindakan GIDI di Tolikara serta mendesak pemerintah untuk segera mengambil sikap dengan menangkap para pelaku dan aktor intelektualnya. Ketiga, sikap permusuhan dengan cara melakukan progaganda kecil-kecilan di media sosial guna melakukan pembalasan terhadap tindakan brutal yang dilakukan oleh GIDI.

Secara psikologis, sikap ini pada prinsipnya tidak dapat disalahkan seratus persen. Mengapa? Karena hal ini merupakan refleksi solidaritas sesama muslim. Tapi tidak bisa pula dibenarkan sepenuhnya karena kekacauan akan bertambah parah. Keempat, sikap pasrah pada keadaan (jabariyah).

Sebelum melakukan analisis singkat terhadap keempat sikap di atas, di sini saya ingin mengutip tulisan Hamka yang dalam pandangan saya sangat relevan. Hamka dalam bukunya Tasauf Modern menulis tentang manusia: “tidak buas, sebab kebuasan itu sifat singa dan harimau; tidak kejam, sebab kejam itu sifat beruang; tidak mau dihinakan orang, sebab suka menerima hinaan orang itu sifat anjing, sedangkan anjing pun kalau senantiasa diganggu akan menggigit”.

Berdasarkan penjelasan Hamka, saya melihat bahwa sikap pertama, kedua dan ketiga cenderung ekstrim. Sikap abai, apatis dan pasrah pada keadaan adalah sikap ekstrim ke dalam. Artinya, sikap ini dapat melemahkan umat Islam dan juga bisa merusak rasa solidaritas sesama muslim.

Adapun sikap permusuhan adalah sikap ekstrim ke luar. Artinya, jika sikap ini dipaksakan maka akan merusak tatanan dan memperparah konflik. Saya melihat sikap kedua sebagai sikap moderat yang relevan untuk diterapkan. Artinya, sebagai seorang muslim kita sangat menyesalkan dan bahkan mengecam tindakan brutal yang dilakukan terhadap saudara-saudara kita di Tolikara. Tapi proses penegakan hukum dan penyelesaian tragedi Tolikara kita serahkan kepada negara melalui perangkat-perangkatnya.

Dalam hal ini, negara harus bersikap adil dan objektif. Jangan hanya karena ada segelintir umat Islam yang nakal lantas dicap sebagai teroris, ekstrimis dan radikalis. Tapi ketika aksi-aksi serupa dilakukan oleh non muslim justru disebut sebagai efek speaker. Wallahu A’lam.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement