Kamis 30 Jul 2015 09:31 WIB

Menimbang BPJS Syariah, Perlukah?

Red: M Akbar
BPJS Kesehatan.
Foto: Republika/Yasin Habibi
BPJS Kesehatan.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dr. Murniati Mukhlisin, M.Acc,

(Dosen Senior STEI Tazkia kini tinggal di Inggris)

Saya tertarik untuk menulis soal denda ini ketika ditanya oleh Asrarul Rahman, seorang auditor BPK yang sekarang sedang lanjut studi di University of Glasgow, UK. Asra mengangkat kasus BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) hari ini, "Saya baru tahu kalau denda keterlambatan itu tidak syar'i" ujarnya.

Awalnya ingin mengisi waktu dua jam perjalanan dari London ke Manchester untuk mengerjakan tugas review jurnal tapi ternyata lebih menarik untuk nulis soal denda ini rupanya.

Apa hubungan BPJS dan Manajemen Keuangan Keluarga? Ketika 1 Januari 2014 pemerintah mengenalkan paket ini ke masyarakat, saya sangat bersyukur kepada Allah SWT yang telah menggerakkan hati para pembuat keputusan untuk menjalankan program ini secara gencar. Program yang ada sebelumnya tidak terbukti ampuh dibandingkan BPJS ini.

Langsung terbayang wajah orang-orang dari golongan ekonomi lemah akan tersenyum walaupun harus masuk rumah sakit. Dalam waktu 1,5 tahun peserta BPJS Kesehatan berjumlah 143 juta jiwa dengan jumlah fasilitas kesehatan sebanyak 1.739 terdiri dari rumah sakit swasta, rumah sakit pemerintah dan klinik utama (Republika, 19 Mei 2015).

Sebelumnya, banyak kasus yang kita dengar dimana keluarga pesakit terpaksa menjual aset yang ada untuk membayar biaya berobat. Banyak juga kasus dimana pesakit tidak langsung ditangani walaupun sudah sekarat karena tidak ada uang jaminan untuk dapat bayar biaya rumah sakit. Semoga dengan adanya BPJS tidak ada lagi kasus serupa. Namun, di sinilah sebenarnya manajemen keuangan rumah tangga berperan, disamping tentu saja dilemparkan sebagai satu tugas negara.

Ternyata masih sedikit keluarga yang sadar untuk menjalankan perencanaan keuangan yang baik, rata-rata hanya 3 dari 10 peserta yang hadir di pelatihan Sakinah Finance menyatakan sudah melakukannya.

Manajemen yang dimaksud sangat sederhana namun perlu kedisiplinan yaitu salah satunya adalah menyisihkan sebagian dananya untuk menutupi biaya emergensi seperti sakit atau mengambil paket asuransi kesehatan syariah untuk keluarganya sebagai antisipasi. Surat Al- Hasyr (59): 18 mengenai antisipasi hari esok dan kisah Nabi Yusuf yang menjelaskan tentang sikap prihatin memberikan motivasi bagi kita tentang hal ini.

Bagaimana perlakuan denda dalam Akuntansi Syariah?

Denda atau sanksi keterlambatan atau dalam istilah fiqh 'ta'zir' adalah sebuah istilah yang dipakai dalam Fatwa DSN-MUI No. 17/DSN-MUI/IX/2000 tentang Sanksi atas Nasabah Mampu yang Menunda-nunda Pembayaran. Sebagai landasannya, Surat Al-Maidah (5):1 dengan tegas menyeru kepada orang yang beriman untuk memenuhi akad-akad.

Dalam satu hadis yang menjadi referensi bagi fatwa tersebut juga menyebutkan bahwa menunda pembayaran yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezaliman (HR Bukhari, Muslim, Tirmizi, Abu Daud, Ahmad, Malik) serta boleh dijatuhi sanksi (HR Nasa'i, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad).

Karena fatwa adalah landasan regulasi keuangan syariah, maka istilah itu juga dipakai dalam akuntansi syariah. Pendekatan fiqh yang diadopsi oleh para aggota dan pengurus DSN-MUI ketika melihat kasus denda ini adalah maslahah atau mendahulukan manfaat untuk umum.

Artinya denda diperbolehkan jika dibuat untuk tujuan memberikan pelajaran untuk meningkatkan kedisiplinan para pelakunya (dalam hal ini pelaku bisnis syariah) yang sebenarnya mampu bayar tetapi menunda atau lalai. Akan tetapi bagi nasabah yang tidak mampu membayar akan diperlakukan terpisah yaitu dengan teguran hingga penghapusan hutang (misalnya diatur dalam Fatwa No 47/DSN-MUI/II/2005).

Namun walaupun diperbolehkan, wujud denda ini adalah 'haram' bagi penerimanya tetapi hukumnya 'wajib' dibayar oleh pelakunya. Jadi perlakuan akuntansinya harus menunjukan bahwa denda adalah bukan 'pendapatan' yang dapat dinikmati oleh lembaga bisnis atau entitas syariah. Denda tetap diterima namun setelah akhir tahun denda diserahkan ke lembaga amil zakat untuk dapat dipergunakan sesuai peruntukannya (sebagai dana sosial).

Jika suatu entitas syariah menganut PSAK Syariah 101 yang diterbitkan oleh Ikatan Akuntansi Indonesia maka pelaporan keuangannya akan nampak jelas di pos mana denda ini ditunjukkan. Dalam laporan khusus yang disebut Laporan Sumber dan Penggunaan Dana Kebajikan menunjukan denda sebagai pendapatan non-halal menjadi Sumber Dana Kebajikan yang akan ditunjukan penggunaannya dalam pos Penggunaan Dana Kebajikan.

Perlukah BPJS Syariah?

Jawabannya tentu saja perlu untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Muslim yang mayoritas di Indonesia. Untuk menjadikan BPJS sesuai syariah (baca: BPJSS) sebenarnya sudah dijelaskan oleh DSN-MUI bahwa semua jenis produk bisnis dan keuangan dapat dikatakan syariah jika memenuhi semua rambu-rambu syariah yang dijelaskan di dalam fatwa - fatwa yang telah dikeluarkan oleh DSN-MUI sejak tahun 2000.

Fatwa MUI terbaru yang dihasilkan melalui Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia ke V tahun 2015 mengatakan bahwa penyelenggaraan BPJS Kesehatan, terutama yang terkait akad antar pihak tidak sesuai dengan prinsip syariah karena memgandung unsur gharar, maysir dan riba.

Karena hal itu, pemerintah dituntut untuk memberikan kenyamanan bagi masyarakat Muslim di Indonesia untuk membuat skema BPJSS. Solusinya sederhana dan bukan hal yang baru di Indonesia. Sebut saja puluhan konversi asuransi konvensional menjadi syariah atau terbentuknya divisi syariah bagi asuransi konvensional yang sudah dilakukan sejak tahun 1992. Banyak karakteristik BPJS menyerupai perusahaan asuransi sehingga konversi atau membentuk badan terpisah katakanlah bernama BPJSS akan melalui proses yang sama.

Saat ini sudah ada 3 perusahaan asuransi jiwa syariah, 2 asuransi umum syariah, 17 unit syariah dari asuransi jiwa, 20 unit syariah dari asuransi umum dan 3 unit syariah perusahaan re-asuransi. Menurut perkembangan terakhir telah didirikan  perusahaan asuransi mikro syariah pertama di Indonesia yang bertujuan memberikan layanan asuransi berlandaskan syariah bagi masyarakat kecil terutama untuk mengurangi resiko atas bisnis yang dikelolanya.

Kesimpulannya, untuk membuat BPJSS, BPJS yang sudah ada ini harus dibenahi, mulai dengan pasang niat yang bersih, pastikan akad-akad produk misalnya sumber dana pengelolaan dan perlakuan denda, evaluasi sistem operasional yang sudah ada serta buat pencatatan akuntansinya sesuai dengan pedoman syariah. Pesertanya kelak terbuka untuk siapa saja bukan hanya masyarakat muslim.

Tahap selanjutnya yang harusnya kita harapkan adalah supaya pemerintah dapat mencanangkan pemberian jasa utama kesehatan tanpa imbalan kepada rakyatnya seperti yang telah dilakukan oleh negeri Ratu Elizabeth melalui program NHS (National Health Service) yang didirikan sejak tahun 1948. Namun program ini dibiayai oleh hasil pungutan pajak negara yang artinya rakyat Indonesia juga harus patuh dengan pajaknya dan pengelola Direktorat Jenderal Pajak juga harus bersih barulah sistem ini dapat berjalan.

Semoga duduk persoalannya jelas karena yang menjadikan BPJS tidak syariah bukan hanya mengenai denda yang diungkit di awal tulisan ini tetapi terletak pada keseluruhan perangkatnya supaya terhindar dari gharar (tidak jelas), maysir (spekulasi), dan riba (tambahan). Wallahu'alam bissawaf.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement