Selasa 04 Aug 2015 10:49 WIB

Menyambut Ekonomi ASEAN, Sudah Siapkah Indonesia? (1)

Red: M Akbar
Masyarakat Ekonomi ASEAN
Foto: blogspot.com
Masyarakat Ekonomi ASEAN

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Arista Atmadjati,SE.MM (Dosen Universitas Gadjah Mada)

Akhir akhir ini dalam liputan media di Indonesia dan sejumlah talkshow, kita kerap kali mendengar istilah Indonesia akan memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN. Di dalamnya terdapat 11 negara anggota. Dalam pengertian awam, semua sepakat mengatakan MEA adalah era perdagan global bebas intranegara ASEAN yang akan diberlakukan pada Desember 2015.

Lalu apakah kita memahami sejarah perjalanan dari awal terbentuknya kesepakatan MEA ini? Rasanya, ada baiknya jika kita melihat awal kesepatan MEA dan prospek di masa mendatang.

Sejak dibentuknya ASEAN sebagai organisasi regional pada tahun 1967, negara-negara anggota telah meletakkan kerjasama ekonomi sebagai salah satu agenda utama yang perlu dikembangkan. Awalnya kerjasama ekonomi difokuskan pada sejumlah program. Diantaranya pemberian preferensi perdagangan (preferential trade), usaha patungan (joint ventures), dan skema saling melengkapi (complementation scheme) antarpemerintah negara-negara anggota maupun pihak swasta di kawasan ASEAN.

Contoh semacam itu seperti ASEAN Industrial Projects Plan (1976), Preferential Trading Arrangement (1977), ASEAN Industrial Complementation scheme (1981), ASEAN Industrial Joint-Ventures scheme (1983) hingga Enhanced Preferential Trading arrangement (1987).

Niat itu pun mulai dirintis pada dekade 1980 dan 1990-an. Ketika itu sejumlah negara di berbagai dunia mulai melakukan upaya menghilangkan hambatan-hambatan ekonomi. Saat itulah negara-negara anggota ASEAN menyadari bahwa cara terbaik untuk bekerjasama adalah dengan saling membuka perekonomian mereka. Harapannya kelak dapat menciptakan integrasi ekonomi kawasan.

Niat itu kian dipertegas Pada KTT ke-5 ASEAN di Singapura pada 1992. Saat itu ditandatangani Framework Agreement on Enhancing ASEAN Economic Cooperation sekaligus menandai dicanangkannya ASEAN Free Trade Area (AFTA) pada 1 Januari 1993 dengan Common Effective Preferential Tariff (CEPT) sebagai mekanisme utama.

Pendirian AFTA memberikan impikasi dalam bentuk pengurangan dan eliminasi tarif, penghapusan hambatan-hambatan non-tarif, dan perbaikan terhadap kebijakan-kebijakan fasilitasi perdagangan. Dalam perkembangannya, AFTA tidak hanya difokuskan pada liberalisasi perdagangan barang, tetapi juga perdagangan jasa dan investasi.

Lantas hal itu kian mengerucut di KTT ke-9 ASEAN di Bali pada 2003. Saat itu disepakati pembentukan komunitas ASEAN sebagai pilar dari Komunitas Ekonomi ASEAN (AEC). AEC bertujuan untuk menciptakan pasar tunggal dan basis produksi yang ditandai dengan bebasnya aliran barang, jasa, investasi, tenaga kerja terampil dan perpindahan barang modal secara lebih bebas.

KTT Bali itu menetapkan juga sektor-sektor prioritas yang akan diintegrasikan. Diantaranya ada produk pertanian, otomotif, elektronik, perikanan, produk-produk turunan dari karet, tekstil dan pakaian, produk-produk turunan dari kayu, transportasi udara, e-ASEAN (ITC), kesehatan, hingga pariwisata.

Dalam perkembangannya, pada 2006 jasa logistik dijadikan sektor prioritas yang ke-12. KTT ke-10 ASEAN di Vientiene 2004 antara lain menyepakati Vientiane Action Program (VAP) yang merupakan panduan untuk mendukung implementasi pencapaian AEC di tahun 2020.

ASEAN Economic Ministers Meeting (AEM) di Kuala Lumpur pada Agustus 2006 juga membuat semacam cetak biru (blueprint). Tujuannya untuk menindaklanjuti pembentukan AEC dengan mengindentifikasi sifat-sifat dan elemen-elemen AEC pada tahun 2015. Ini menjadi konsisten dengan hasil Bali Concord II. Di dalamnya terdapat target-target dan timelines yang jelas serta pre-agreed flexibility untuk mengakomodir kepentingan negara-negara anggota ASEAN.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement