REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Anas Syahrul Alimi
Pengusaha Muda NU, tinggal di Yogyakarta
Menimbang Arah NU
Dilihat dari berbagai aspek, NU sebenarnya memiliki potensi sangat besar. Potensi NU misalnya dapat kita lihat dari empat potensi penting. Pertama, jika dilihat dalam perspektif sumber daya manusia (SDM), saat ini kekuatan SDM tentu berkembang jauh lebih baik dibandikan puluhan tahun lalu.
Sudah banyak anak-anak muda NU yang menempuh pendidikan tinggi modern di berbagai belahan dunia. Banyak juga anak muda NU yang mampu berkembang dalam berbagai arena profesional dan bisnis dan berbagai arena kehidupan publik lainnya. Mereka merupakan generasi millenium NU yang memiliki sejumlah bekal pengetahuan global yang luar biasa.
Kedua, jika dilihat dari perspektif pasar. Jumlah warga NU di pedesaan maupun yang menjadi kaum urban di perkotaan luar biasa besar (kira-kira 70an juta). Sebagian besar yang tinggal di pedesaan diantaranya memang masih merupakan masyarakat yang memiliki daya beli rendah. Namun banyak juga diantaranya, apalagi yang menjadi kaum urban di perkotaan memiliki tingkat daya beli yang tinggi. Bisa dibayangkan betapa NU merupakan salah satu daya tarik pasar potensial bagi siapapun.
Ketiga, jika dilihat dari kemampuan modal kalangan pengusaha NU. Saat ini, anak muda NU yang tumbuh sebagai pengusaha kian banyak dan tersebar di berbagai lingkungan pedesaan dan perkotaan di Indonesia. Potensi dan kemampuan kaum pengusaha NU ini jika mampu dikonsolidasikan tentu akan memiliki energi luar biasa dalam men-generate aset dalam dunia bisnis dan dunia sosial yang bisa lebih membuka lapangan kerja dan pemberdayaan bagi warga NU.
Keempat, jika dilihat dari potensi dana sumbangan keagamaan (charity), NU juga memiliki potensi yang tak kalah dahsyat. Jika kita hitung saat ini tentu ada puluhan juta masjid-masjid yang dikelola atau dimiliki oleh NU. Berapa banyak jumlah dana sosial yang dimiliki oleh masjid-masjid tersebut. Jika dana sosial ini mampu dikonsolidasikan sebagai kekuatan ekonomi/bisnis tentu akan memiliki daya gerak luar biasa.
Di tengah problem ketergantungan terhadap kekuasaan dan potensi degradasi kemandirian tersebut, NU sebenarnya menyimpan potensi besar yang belum diberdayakan. Hal ini tentu menjadi pekerjaan rumah serius bagi para elit NU untuk menimbang kembali arah perjuangan NU di masa depan. Namun, potensi ini seringkali cenderung dilupakan atau bahkan kurang dapat dilihat oleh para elit NU karena berbagai arus tarikan kekuasaan politik.
Memang benar, tidak hanya NU yang mengalami tantangan akan tarikan arus politik kekuasaan politik yang menyimpan pragmatisme jangka pendek. Hampir semua lembaga ormas sosial keagamaan dan juga kelompok-kelompok civil society di Indonesia juga mengalami tantangan yang serupa. Kendati demikian, para pendiri NU sebenarnya sudah memberikan pelajaran yang berharga, bagaimana membawa NU agar tetap memiliki daya independensi dan imunitas yang luar biasa terhadap kooptasi kekuasaan dalam bentuk apapun.
Di tengah ledakan krisis peradaban global yang saat ini berlangsung di berbagai belahan dunia, kita tentu berharap besar NU kian mampu menjadi subyek sejarah yang memiliki daya inovasi dan kemandirian yang berkontribusi terhadap peradaban global.
Muktamar NU ke-33 kali ini, menjadi harapan besar bagi kalangan nahdhiyin untuk memilih nahkoda berpengalaman dari kapal besar NU. Nahkoda baru NU yang akan terpilih ini perlu diperkuat lagi oleh orang-orang muda NU yang memiliki integritas, ketulusan dan obligasi moral dalam menjaga dan membesarkan NU.
Terakhir saya mengutip pidato Gus Mus (KH. Mustofa Bisri) yang berhasil meredakan emosi muktamirin: "Di tanah ini terbujur Kyai-kyai kita, di sini NU didirikan, apa kita mau meruntuhkannya di sini juga, Naudzubillah..."