REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Mukhlis Yusuf
(Executive Coach Rumah Perubahan dan Strategic Actions. CEO Perum LKBN ANTARA 2007-2012)
Beberapa hari lalu Presiden Joko Widodo (Jokowi) melakukan pergantian beberapa menteri pada pemerintahan yang dipimpinnya.
Tak tanggung-tanggung tiga menteri setingkat menteri koordinator (menko) diganti. Ketiganya adalah Menko Perekonomian, Menteri Politik Hukum dan Keamanan dan Menko Kemaritiman. Ditambah lagi dengan Menteri Perencanaan Nasional dan Kepala Bappenas, Menteri Perdagangan serta Sekretaris Kabinet.
Hanya Sofyan Djalil yang berpindah posisi, dari Menko Perekonomian ke Kementerian Perencanaan Nasional dan Kepala Bappenas. Selebihnya diganti.
Tertangkap publik, ini pergantian tim inti Kabinet Kerja pasangan Presiden Jokowi- Wapres Jusuf Kalla. Namun, pasar masih datar meresponnya. Semua menanti gebrakan dan terobosan baru, bukan semata figur-figur baru. Pergantian itu telah membuat gaduh publik beberapa bulan sebelumnya, lantaran para menteri yang diganti belum bekerja selama setahun.
Dua hari pascapergantian, seorang pemimpin redaksi sebuah harian media cetak menyorot tentang ihwal pergantian Menteri Perdagangan, misalnya. Pada bagian akhir kolomnya ditutup dengan kalimat;“Terlalu banyak menteri yang lebih layak dicopot, tapi Gobel tak punya daya politik. Itulah makna reshuffle kali ini”.
Apa yang salah? Hingga saat ini, publik tak mengetahui alasan pergantian itu. Saat melantik para menteri baru pun, Presiden Jokowi tak menjelaskan apa-apa.
Baru pada Pidato Kenegaraan Presiden di Sidang Paripurna MPR pada tanggal 14 Agustus 2015, Presiden menegaskan bahwa reshufle dilakukan untuk meningkatkan kinerja pemerintah untuk percepatan pembangunan nasional. Belum ada rapor yang dapat menjadi indikator kinerja pemerintahan yang dapat diakses publik.
Penulis tidak mengetahui apakah ada review kinerja yang dilakukan antara presiden dan para menteri secara terjadwal. Entah tiga bulan atau enam bulanan. Atau setidaknya, antar menko dengan para menterinya. Semua pertanyaan berhenti dengan jawaban; “Itu hak prerogatif presiden”.
Tulisan ini sesungguhnya hanya ingin berfokus soal manajemen, bukan soal politik. Nampaknya ada pekerjaan rumah Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla yang belum selesai; menuntaskan indikator kinerja pemerintahan dan laporan kemajuan berbasis indikator kinerja itu kepada rakyat! Keduanya penting untuk menguatkan eksekusi strategi yang diusung pemerintahan.
Berperang Untuk Memuliakan Rakyat
Presiden menegaskan dalam pidato kenegaraan yang lalu; “Kita sedang berperang. Perang ini bukan fisik melainkan perang untuk memenangi perdamaian, kesejahteraan dan kehidupan rakyat bahagia”.
“Kemenangan perang untuk memuliakan rakyat,” ujar Jokowi dalam pidatonya.
Pertanyaan pun mencuat, apakah semua menteri memang merasa sedang “berperang” seperti dinyatakan presiden? Siapa sebenarnya musuh kita? Apakah kekacuan, kemiskinan, kehidupan yang tak membahagiakan telah menjadi musuh kita bersama? Apakah juga, ketiga hal itu telah menjadi musuh para menteri? Musuh seluruh pimpinan lembaga tinggi negara?
Ataukah juga musuh rakyat Indonesia?
Sejauh mana ownership kita semua terhadap sense of crisis yang sedang dibangun Presiden Jokowi, kita sebagai sebuah bangsa. Bagaimana agar kita semua bersatu untuk menghadapinya, berperang bersama dengan berbagi tanggungjawab dan peran pada berbagai pertempuran.
Visi Nawa Cita pasangan Jokowi-JK yang disampaikan ke KPU setahun lalu, bertema “Terwujudnya Indonesia yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong Royong”, setidaknya menyiratkan empat kata kunci yang perlu terjemahan lebih operasional; Berdaulat, Mandiri, Berkeperibadian dan Gotong Royong.
Hal itu pun diulang kembali pada Pidato Kenegaraan dan Pidato Pengantar Nota Keuangan 2015, yang berusaha menerjemahkan janji Pilpres 2014.
Terdapat sembilan agenda pemerintahan; (i) Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara; (ii) Membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya.
(iii) Membangunan Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan; dan (iv) Menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya.
Agenda lainnya adalah; (v) Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia; (vi) Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional; (vii) Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakan sektor-sektor strategis ekonomi domestik; (viii) Melakukan revoluasi karakter bangsa; dan (ix) Memerteguh kebhinekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia.