Jumat 28 Aug 2015 05:40 WIB

Menelisik Ulang Lebaran Betawi

Red: M Akbar
Acara Lebaran Betawi digelar dengan tujuan mempopulerkan budaya Betawi kepada masyarakat luas.
Foto: Raisan Al Farisi/Republika
Acara Lebaran Betawi digelar dengan tujuan mempopulerkan budaya Betawi kepada masyarakat luas.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dr. Abdul Azis Khafia

Idul Fitri menjelang Suasana rumah-rumah masyarakat muslim Jakarta mulai diberi sentuhan yang indah. Cat yang sudah buram diganti dengan warna yang lebih cerah atau dikenal dengan istilah ngapur oleh masyarakat Betawi.

Ibu-ibu sibuk membuat kue-kue kering, dodol, geplak, uli dan kue-kue tradisional Betawi dipersiapkan untuk hantaran (antaran) maupun jamuan untuk tamu. Semur daging kebo, opor ayam kampung tercium menyebar dari setiap sudut rumah orang Betawi. Pintu rumah dibuka lebar-lebar, para tamu dipersilahkan bersilaturahmi untuk saling memaafkan.

Suasana semacam ini yang tidak bisa ditemukan di negara lain. Kebanyakan negara, bahkan negara yang mengidentifikasikan dirinya sebagai negara muslim, boleh jadi tidak menyambut Idul Fitri semeriah di Indonesia. Hari raya Idul Fitri pertama kali di rayakan umat Islam selepas Perang Badar pada tahun kedua Hijriah. Dalam pertempuran itu, umat Islam meraih kemenangan. Padahal, kala itu pasukan muslimin yang hanya berkekuatan 319 orang harus berhadapan dengan 1.000 tentara dari kaum kafir Quraisy.

Pada tahun itu, Rasulullah SAW dan para sahabat merayakan dua kemenangan, yakni keberhasilam mengalahkan kaum kafir dalam perang badar dan menaklukan hawa nafsu setelah sebulan berpuasa. Menurut sebuah riwayat, Nabi SAW dan para sahabat menunaikan shalat ied pertama dengan kondisi luka-luka yang masih belum pulih akibat perang badar.

Rasulullah pun dalam riwayat disebutkan merayakan hari raya Idul Fitri pertama dalam kondisi letih. Sampai-sampai Nabi SAW bersandar pada Bilal dan menyampaikan khotbahnya. Menurut hafizh Ibnu Katsir, pada hari raya Idul Fitri yang pertama, Rasulullah pergi meninggalkan masjid menuju suatu tanah lapang dan menunaikan shalat ied di atas tanah lapang itu. Sejak itulah, Nabi Muhammad SAW dan para sahabat menunaikan shalat Idul Fitri di lapangan terbuka.

Lalu, sejak kapan halal bihalal dikenal oleh umat Islam di Indonesia? Secara bahasa, halal bihalal adalah kata majemuk dalam Bahasa Arab. Ia berarti halal dengan halal atau sama-sama halal. Tapi, kata majemuk ini tidak dikenal dalam kamus-kamus Bahasa arab maupun dipakai oleh masyarakat Arab sehari-hari. Kata halal bihalal justru hanya ada di Indonesia.

Pangeran Sambernyawa. Konon, tradisi halal bihalal mula-mula dirintis oleh Pangeran Sambernyawa. Untuk menghemat waktu, tenaga, pikiran, dan biaya maka setelah shalat Idul Fitri diadakan pertemuan antara raja, para punggawa, dan prajurit secara serentak di balai istana. Semua punggawa dan prajurit denga tertib melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri. Apa yang dilakukan  oleh Pangeran Sambernyawa itu kemudian ditiru oleh organisasi-organisasi Islam dengan istilah halal bihalal.

Sementara itu budayawan Umar Kayam menyatakan tradisi lebaran dan halal bihalal merupakan terobosan akulturasi budaya Jawa dan Islam. Dalam kegiatan tersebut, umat Islam di Jawa saling bersilaturahmi dan sungkem kepada orang yang lebih tua.

Tujuan sungkem, pertama adalah sebagai lambang penghormatan. Kedua sebagai permohonan maaf atau nyuwun ngapura. Istilah ngapura tampaknya berasal dari Bahasa Arab ghafura. Tradisi ini kemudian meluas ke seluruh wilayah Indonesia dan melibatkan penduduk dari berbagai pemeluk agama.

Sejarawan lainnya menyatakan halal bihalal dipolulerkan oleh Bung Karno pada 1946. Saat itu, Bapak Proklamasi Indonesia ini mengadakan halal bihalal di Yogyakarta. Tujuannya agar semua pejabat dan pegawai bisa bertemu serta saling memaafkan (efisiensi waktu). Ternyata, ide Bung Karno ini menjadi tradisi tahunan.

Hampir semua instasi pemerintahan, mulai pusat hingga tingkat RT, menggelar halal bihalal. Bagi kalangan santri seperti pondok pesantren, ma’had, madrasah, dan takmir masjid, halal bihalal biasanya diselenggarakan dengan menghadirkan seorang kyai atau habib untuk memberikan tausiah atau siraman rohani.

Pada akhirnya, halal bihalal menjadi ajang wajib yang dilakukan umat Islam di Indonesia setelah usai berjuang melawan lapar dan haus selama berpuasa. Kebiasaan tersebut tidak pernah luntur. Hanya saja, keberadaannya masih diperdebatkan. Beberapa ulama menganggap halal bihalal sebagai bid’ah. Pada saat yang sama, tidak sedikit ulama yang berpendapat bahwa kegiatan ini hanya sebagai ajang untuk menjalin silaturahmi, bermaaf-maafan dan wujud rasa syukur.

Namun hakikat Idul Fitri sejatinya adalah perayaan kemenangan iman dan ilmu atas nafsu di medan jihad Ramadhan. Setelah berhasil menundukan nafsu. Kaum muslimin yang berpuasa di bulan Ramadhan dapat “kembali ke Fitrah” (Idul Fitri), yakni kembali ke asal kejadian dan kesucian manusa.

Lebaran Betawi

Orang Betawi memang memiliki tafsir tersendiri tentang makna lebaran yakni lebaran adalah hari raya sesudah puasa, orang Betawi mengenal minimal tiga istilah lebaran, yaitu : 1 Syawal di kenal dengan Lebaran Syawal, 10 Dzulhijjah dikenal dengan Lebaran Haji, 10 Muharram biasa disebut dengan Lebaran Anak Yatim.

Bahkan hari raya agama lainpun oleh masyarakat Betawi disebut dengan ‘lebaran’, misalnya perayaan hari raya Tahun Baru Cina disebut oleh orang Betawi disebut dengan “Lebaran Cina”.

Masyarakat Betawi adalah komunitas yang mendiami Jakarta dan sekitarnya. Sebagiannya berada di Depok, Bekasi, Tangerang dan Bogor. Mereka yang berbudaya Betawi (teritori budaya Betawi), yaitu omong Betawi (base Betawi) baik Betawi tengah, pesisir maupun Betawi ora (pinggir), memiliki makanan khas Betawi dan berkebudayaan melayu Betawi. Singkatnya bawah “Betawi adalah masyarakat inti kota Jakarta.

Dengan definisi di atas maka lebaran Betawi adalah sebuah fragmentasi dari peristiwa tradisi masyarakat Betawi. Peristiwa ini digambarkan dengan salah satu gaya bersilaturahmi orang Betawi saat berlebaran, yaitu “Anteran” atau hantaran, yaitu saat kunjungan (silaturahmi) seseorang anak kepada orang tuanya atau yang muda kepada yang lebih tua. Umumnya mereka membawa anteran, gegawan, hadiah yang berbentuk makanan khas seperti dodol, geplak, wajik, semur daging dan lain-lain.

Seiring berkembangnya peradaban bentuk hantaran kini selain berbentuk makanan khas ada juga berupa parcel dan lain-lain, namun intinya tetap sama, yaitu menghormati orang tua atau yang dituakan atau yang lebih tua. Lebaran Betawi merupakan ajang silaturahmi antar masyarakat kepada pemerintah daerah dan tokoh masyarakat.

Halal bihalal diselenggarakan oleh masyarakat Jakarta dan sekitarnya pada saat masuk kerja (kantor) atau memang direncanakan dengan mengundang keluarga, sahabat dan komunitas. Bagi masyarakat Betawi Lebaran Betawi adalah halal bihalalnya masyarakat Betawi yang dahulu sangat kental suasana silaturahim antara keluarga dan antar kampung di Betawi.

Namun dengan lajunya pembangunan Ibu Kota makan menjadi penting untuk melakukan rekonstruksi budaya dan tradisi regional masyarakat Betawi di Ibu Kota yakni dengan lebaran Betawi. Pembangunan boleh maju tapi stampel bahwa orang Betawi religious masih tetep eksis hingga saat ini. Selamat Lebaran Betawi 2015

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement