Senin 31 Aug 2015 05:50 WIB

Menggugat 'Tuhan' dan 'Syaitan' (2-Habis)

Red: M Akbar
Ilustrasi Identitas
Foto: www.bidikbanten.com
Ilustrasi Identitas

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Khairil Miswar

(Penulis adalah Mahasiswa PPs UIN Ar-Raniry)

Nama dan Etika

Terkait dengan nama 'Tuhan' dan 'Syaitan' (Saiton) yang heboh baru-baru ini, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Di satu sisi, ditinjau dari perspektif kebebasan (HAM), seseorang bebas saja menggunakan nama apapun untuk dirinya. Tidak ada larangan bagi orang tua untuk memberikan nama anaknya dengan nama presiden ataupun tokoh-tokoh besar, seperti Bill Clinton, Jokowi atau pun Soekarno. Bahkan pada saat Perang Teluk antara Iraq dan Iran, ramai orang tua, khususnya di Aceh yang memberikan nama anaknya dengan Saddam Husen.

Namun di balik itu, dalam memberikan nama anak, kita juga harus memperhatikan etika sosial dan juga keagamaan. Dalam prinsip kebebasan, seseorang bebas saja memberi nama anaknya dengan cangkul, gerobak, asbak, keranjang dan sebagainya. Tapi apakah nama tersebut etis digunakan untuk manusia, terlebih lagi dalam hubungannya dengan pergaulan sosial. Bukankah nama-nama seperti itu hanya akan menjadi bahan olok-olok.

Demikian pula dengan nama 'Tuhan' dan 'Syaitan', rasanya juga tidak etis digunakan untuk manusia. Tuhan adalah sebutan yang sakral bagi umat beragama. Dalam perspektif Islam, kata Tuhan (rabb, ilah) tidak hanya sakral, tetapi juga memberi bekas pada keyakinan bahwa tidak ada Tuhan yang patut disembah selain Allah. Tuhan itu Esa (Allahu ahad).

Tuhan adalah pencipta (khaliq). Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam pernah bersabda bahwa  nama yang paling buruk di sisi Allah adalah seorang yang bernama Malikul Muluk. Sebagaimana disebut dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah bahwa tidak ada malik (raja) kecuali Allah. Dengan demikian, tidak ada pilihan bagi sosok bernama 'Tuhan' di Banyuwangi untuk segera mengganti namanya, apalagi yang bersangkutan adalah seorang muslim.

Adapun nama 'Syaitan' (Saiton) yang digunakan oleh seorang warga di Palembang merupakan nama yang buruk, dan bahkan paling buruk sekalian alam karena Syaitan adalah makhluk yang telah dikutuk oleh Allah. Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits bahwa nama Zainab pada awalnya adalah barrah, tapi kemudian nama tersebut diubah menjadi Zainab.

Dalam riwayat Al-Bukhari, Rasulullah pernah bertanya kepada seseorang tentang namanya. Orang tersebut menjawab bahwa namanya adalah huzn (kasar atau sedih). Kemudian Rasulullah bersabda agar orang tersebut mengganti namanya dengan sahl (mudah). Berdasarkan hadits ini dapat dipetik pelajaran bahwa kita dianjurkan untuk memberikan nama yang baik kepada anak-anak kita. Adapun bagi yang sudah terlanjur dinamai dengan nama buruk, maka yang bersangkutan harus mengganti namanya dengan nama yang lebih baik.

Anekdot

Ditemukannya 'Tuhan' dan 'Syaitan' di Indonesia adalah satu peristiwa unik dan langka. Menurut saya, kedua nama tersebut pantas mendapat rekor MURI ditinjau dari sisi ketidaklaziman. Namun demikian, sebagaimana telah diulas di atas bahwa pilihan terbaik bagi pemilik nama tersebut adalah segera mengganti namanya. Dalam peradaban teknologi seperti sekarang ini, memiliki nama serupa itu saja sudah membuat heboh sejagat. Apalagi di media sosial sudah mulai muncul olokan bahwa 'Tuhan' hanya berprofesi sebagai tukang kayu, sementara 'Syaitan' adalah lulusan S2.

Pelecehan demi pelecehan akan terus berkembang di tengah semaraknya media sosial di tanah air. Saya tidak sanggup membayangkan jika sosok 'Tuhan' dan 'Syaitan' bertemu dan terlibat perkelahian. Bagaimana jadinya jika dalam perkelahian itu 'Tuhan' kalah dengan 'Syaitan'?

Tentunya media-media bakal lebay dalam menuliskannya. Boleh jadi berita dengan tajuk “Wah, Tuhan dihajar Syaitan?” Mungkin masih untung, karena sosok 'Tuhan' di Banyuwangi itu bukanlah seorang pejabat. Tentu kita semua akan bingung jika membaca berita “Tuhan Ditangkap KPK”. Kepala kita juga akan semakin hancur jika orang yang bernama Syaitan menjadi politisi. Kita tentu tidak sanggup membaca surat kabar yang menulis “Syaitan Terpilih Menjadi Presiden.”

Oleh sebab demikian, sebagai orang beragama sudah sepatutnya 'Tuhan' dan 'Syaitan' tidak lagi berlama-lama dan segera ganti nama. Wallahu a’lam. 

          

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement