Kamis 03 Sep 2015 16:00 WIB

Menimbang Slogan 'Ayo Kerja'

Red: M Akbar
Menimbang Slogan 'Ayo Kerja'
Foto: eksposa.com
Menimbang Slogan 'Ayo Kerja'

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Akhdiyat Setya Purnama (Staf Jasa Raharja)

Ada fenomena baru yang kini terjadi di negeri ini. Fenomena itu bernama keinginan untuk menjadi transporter. Fenomena itu terlihat dengan kian banyaknya orang kantoran melakoni side job sebagai 'transporter' Go-Jek, Grab Bike atau sejenisnya. Inilah berkah untuk mendapatkan tambahan pendapatan.

Dari sini terlihat, ikhtiar untuk bekerja keras sesungguhnya bukan persoalan yang sedang dihadapi bangsa ini. Meski sesungguhnya, pemerintah telah menyemaikan semangat lewat jargonya 'Ayo Kerja'. Melalui fenomena tersebut maka sesungguhnya terlihat rakyat Indonesia sebenarnya ingin bekerja namun keterbasan lapangan kerja dan skill kerap kali menjadi kendala. Hal ini kian diperparah juga dengan iklim perekonomian yang saat ini menambah kesulitan para pencari kerja

Perlu diingat juga, bangsa Indonesia sesungguhnya bangsa yang besar. Sebagai sebuah bangsa, negeri ini memiliki semangat juang yang tinggi. Kemerdekaan yang kita dapatkan merupakan contoh nyata bagaimana hasil perjuangan dan kerja keras pantang menyerah dari para penjuang telah berhasil membawa negeri ini terbebas dari para penjajah. Jadi bisa dibilang kerja keras sebenarnya sudah mendarah daging dalam diri setiap orang di negeri ini.

Langkah pemerintah untuk menyemangati melalui jargon "Ayo Kerja" sebenarnya sudah baik. Namun akan lebih ideal jika jargon itu turut diiringi dengan kebijakan yang dapat meningkatkan kesempatan kerja atau mendorong terciptanya lapangan-lapangan pekerjaan baru. Tak boleh dilupakan juga, perlu kiranya mempertimbangkan untuk memperbanyak program-program pelatihan ketenagakerjaan. Ujungnya dapat menambah skill atau kualitas para pekerja Indonesia yang nantinya mampu memenuhi persyaratan kerja yang semakin menuntut kualifikasi tinggi.

Di sinilah urgensinya. Pemerintah harus mengambil peran lebih. Tidak hanya sekedar memberikan dorongan moril semata. Bilingual policy yang diterapkan Singapura mungkin dapat dijadikan inspirasi. Kebijakan itu dipelopori oleh Lee Kuan Yeuw. Tujuannya untuk memberikan nilai tambah terhadap Sumber Daya Manusia (SDM) negaranya untuk unggul dalam persaingan dengan negara tetangga. Dalam bukunya Hard Truth To Keep Singapore Going, Lee Kuan Yeuw menyatakan "we are reliable and credible to investors, world class infrastructure, world class suporting staff, well educated in english..."

Dengan kemampuan penguasaan Bahasa Inggris yang baik, lalu ditambah penguasaan bahasa lain seperti Mandarin atau Bahasa Melayu, SDM Singapura lebih mudah diterima. Utamanya oleh perusahaan multinasional yang berbasis di Singapura. Mereka itu umumnya tidak saja berperan sebagai pekerja biasa melainkan juga mampu bersaing menjadi manajer, bahkan CEO dari perusahaan tersebut.

Ibarat sebuah cerita, slogan "Ayo Kerja" sebenarnya merupakan proses awal menuju Indonesia yang baru. Sudah selayaknya kita mengapresiasi. Skenario penting berikutnya adalah bagaimana merumuskan kebijakan untuk mendukung jargon "Ayo Kerja" tadi. Setelah itu dipikirkan bagaimana cara diaplikasikan secara nyata. Pada akhirnya hal ini dapat menggandakan motivasi bangsa Indonesia, tidak hanya dalam bekerja tetapi juga semangat untuk menjadi sumber daya manusia yang unggul.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement