REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Syamsuddin Alimsyah (Direktur KOPEL Indonesia)
Setahun lebih sudah anggota DPRD kita menyandang predikat sebagai wakil rakyat yang terhormat. Namun kinerja yang buruk masih terus dipertontonkan. Malas rapat, pencapaian prolegda lambat, termasuk kelambanan dalam membahas dan menetapkan APBD baik perubahan maupun pokok 2016.
Sesungguhnya ekspektasi masyarakat begitu tinggi ingin melihat perubahan kinerja dari wakil-wakil yang dipilih pada pemilu legislatif yang lalu. Wajah baru parlemen diharapkan membawa angin segar perubahan dalam perbaikan kinerja DPRD.
Tapi sayang, di tengah eskpektasi yang tinggi itu, wakil rakyat sepertinya tak menunjukkan greget alias belum ada prestasi yang bisa ditonjolkan. Alih alih menunjukkan kinerja bagus, justru cerita ironis yang kerap muncul. Ada yang tersandung kasus asusila, selingkuh, narkoba dan korupsi.
Belum apa-apa, kini muncul wacana kenaikan gaji. Hal ini menyusul adanya permintaan sejumlah anggota DPRD baik itu secara individu maupun melalui Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia (ADKASI) mengeluhkan bahwa sejak tahun 2004 gaji mereka tidak pernah naik.
Dengan dalih pengeluaran biaya politik semakin besar maka porsi gaji saat ini dianggap tidak mencukupi. Apakah relevan biaya politik dijadikan dalih? Kalau saja biaya politik yang dijadikan alasan wakil rakyat minta kenaikan gaji maka yakin saja itu bukanlah solusi yang jitu. Soalnya, biaya politik adalah sesuatu yang sulit diukur dan bersifat unlimited dan biaya politik bisa berbeda bagi setiap politisi.
Bagaimana sebenarnya potret pendapatan seorang wakil rakyat? Merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) No. 24 Tahun 2004 tentang Kedudukan Keprotokoleran dan Keuangan Pimpinan dan anggota DPRD dan perubahannya (terakhir diubah dengan PP No. 21 Tahun 2007), sesungguhnya seluruh kebutuhan keseharian sebagai anggota DPRD sudah ditanggung oleh negara dalam jumlah yang relatif cukup besar.