REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Mohamad Natsir MSi (Warga bermukim di Depok)
Hari-hari belakangan ini kita disuguhi pemberitaan mengenai perselisihan antara seoarang ustaz dan seorang wanita yang merasa tidak diperlakukan secara adil dalam pernikahan poligami. Sampai saat ini polemik permasalahan tersebut masih terus berlanjut. Ada juga berita mengenai artis pelawak yang selalu memenuhi pemberitaan karena kisruh mengenai urusan poligami rumah tangganya.
Sebagian besar orang menganggap hal itu terjadi sebagai akibat dari poligami. Rumah tangga mereka menjadi berantakan. Masih ada juga di ingatan kita bagaimana pemilik bisnis rumah makan yang sangat terkenal sampai akhirnya terkena imbas negatif gara-gara melaksanakan poligami. Beberapa tahun yang lalu kita juga menyaksikan bagaimana seorang ustaz yang sangat terkenal dan naik daun ditinggalkan oleh fans fanatiknya yang rata-rata ibu-ibu karena melakukan poligami.
Para netizen juga sedang dihebohkan dengan video “SAYA TIDAK SANGGUP BERBAGI” yang diunggah oleh seorang wanita bernama Ana Busyaeri pada 20 Oktober 2015. Sampai saat ini sudah hampir 500.000 orang menyaksikan video tersebut. Banyak komentar dari video itu yang menyampaikan sikap simpatik dengan penderitaan wanita tersebut dan menganggap apa yang dilakukan oleh suaminya adalah hal yang sangat buruk.
Akhir-akhir ini juga terlihat fenomena poligami menjadi trend di kalangan suami. Seolah-olah poligami menjadi tolok ukur keberanian dari seorang suami. Mungkin hal tersebut merupakan simplifikasi tapi kecenderungan ke arah tersebut mulai terlihat, manakala seorang suami sudah memiliki harta yang cukup (uang, rumah dan kendaraan) maka itu menjadi pintu masuk bagi wacana poligami.
Hal inilah yang seringkali menjadi salah kaprah. Manakala prosedur resmi sudah tidak ditempuh maka mereka hanya melakukan nikah siri untuk melegalkan hubungan yang mereka inginkan. Lalu terasa konyol hubungan-hubungan di bawah tangan inilah yang dianggap manifestasi dari pelaksanaan poligami yang tentu saja menjadikan kampanye negatif bagi poligami itu sendiri.
Sama halnya dengan fenomena menyebut hubungan suami istri malam Jumat sebagai 'sunah rasul'. Dalam dua kasus ini poligami dan sunah rasul mengalami penyempitan makna dan cenderung mengarah pada sesuatu yang negatif.