REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fahira Idris
(Wakil Ketua Komite III DPD RI/Senator Asal Jakarta)
Walau implementasi Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sudah berjalan lebih dari satu dekade, tetapi tindak kekerasan terhadap anak masih marak terjadi di seluruh wilayah Indonesia. Justru trendnya meningkat tajam dari tahun ke tahun.
Dalam lima tahun terakhir, jumlah kekerasan terhadap anak di seluruh Indonesia menembus 21,6 juta kasus (republika.co.id, 22/12). Dari jumlah tersebut, 58 persen merupakan kekerasan seksual dan sisanya kekerasan fisik, penelantaran, penculikan, eksploitasi ekonomi dan perdagangan anak.
Jumlah ini diyakini bisa lebih besar karena banyak kasus kekerasan anak yang tidak terungkap atau tidak dilaporkan karena berbagai sebab. Kasus Engeline dan PNF (bocah yang meninggal dalam kardus) yang terjadi pada 2015 dapat dikatakan potret buram dan puncak gunung es kekerasan anak di Indonesia.
Persoalan Perlindungan Anak di Indonesia
Hingga saat ini, Indonesia belum punya sistem perlindungan anak yang komprehensif. Upaya perlindungan dan pencegahan kekerasan terhadap anak masih parsial dan bergerak sendiri-sendiri.
Upaya perlindungan anak semakin melemah karena belum ada keberpihakan anggaran. Ironisnya, hal ini berlangsung sudah puluhan tahun. Kita masih belum punya strategi bagaimana membangun sistem perlindungan anak yang mampu menjamin agar anak tidak lagi menjadi korban kejahatan seksual.
Pemerintah juga belum mampu menggerakkan semua struktur yang ada dalam masyarakat mulai dari yang terkecil, mulai dari RT/RW, sekolah, dan lainnya. Padahal semua itu bisa menjadi basis preventif kekerasan anak, termasuk upaya menciptakan lingkungan yang ramah bagi anak serta memastikan anak terbebas dari potensi kejahatan terutama seksual.