REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ihshan Gumilar/Peneliti bidang psikologi kriminal dan syaraf
Pada 14 Januari 2016 sekitar pukul 10.45 WIB, dalam cuaca yang cerah, tak pernah terlupakan dalam perjalanan sejarah Kota Jakarta. Tragedi Sarinah, sungguh tragis! Lagi-lagi teroris. Aksi seperti ini bukanlah pertama kali terjadi di negeri ini. Seolah ia tak pernah mati untuk selalu menebar rasa takut di masyarakat.
Banyak orang bertanya apa yang menyebabkan seseorang menjadi teroris hingga berani melakukan bom bunuh diri?
Tiga hal penting
Borum (2004) dalam penelitiannya, menurut kacamata psikologi forensik, mengungkapkan bahwa ada tiga hal penting yang perlu dipertimbangkan dalam proses pembentukan seorang teroris.
Pertama, persepsi ketidakadilan. Dalam kepala teroris, pembekalan pemahaman bahwa dunia tidak adil, termasuk dirinya menjadi korban ketidakadilan, adalah hal yang selalu disebarkan. Sangat banyak orang yang merasa dirinya diperlakukan secara tidak adil, lalu melakukan tindakan anarkistis dan agresif sebagai bentuk perlawanan.
Salah satu celah bagi para perekrut untuk bisa menyusupkan "rasa" tidak adil ke dalam pikiran para teroris baru adalah dengan melihat faktor-faktor utama dalam diri mereka yang termarginalkan, seperti ekonomi dan status sosial (mantan residivis). Oleh sebab itu, banyak dari para pelaku teroris adalah orang yang tidak, mapan baik secara ekonomi maupun status sosial. Menanamkan persepsi bahwa seseorang adalah korban ketidakadilan adalah langkah awal menelurkan teroris baru.
Kedua, rasa memiliki. Tidak ada orang yang tidak butuh perasaan untuk memiliki. Perasaan bahwa seseorang memiliki terhadap sesuatu, baik bersifat benda maupun golongan, adalah kebutuhan psikologi mendasar manusia. Untuk membentuk teroris baru, mempermainkan tingkat kebutuhan psikologi ini, lalu menghadirkannya kembali dengan merangkulnya menjadi bagian kelompok anarkis adalah cara mencetak teroris.
Ketiga, kebutuhan untuk memiliki rasa identitas. Siapa pun orangnya: tua, muda, kaya, miskin, memerlukan sebuah identitas. Identitas diri dapat dibangun berlandaskan banyak hal, seperti pekerjaan, aliran keagamaan, pertemanan, dan persamaan nasib. Identitas itu berbanding lurus dengan kegiatan yang bermakna (Taylor & Louis, 2004).
Ketika orang merasa bahwa pekerjaan yang dilakukannya bermakna, hal tersebut dapat secara signifikan membantu proses pembentukan identitas diri. Membenamkan calon teroris dalam pemikiran bahwa aksi anarkistis sangatlah bermakna bagi dirinya, maka hal itu akan besar kemungkinan untuk dieksekusi. Identitas yang solid akan memberikan kestabilan psikologi yang baik. Kebutuhan memiliki identitas dapat dijadikan ruang untuk menyusupkan ideologi anarki.