REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Anthomi Kusairi, SH., MH.
(Advisory Board Roda Indonesia dan Ketua Komisi Hukum dan HAM PB HMI 2005-2007)
Pemerintah melalui Menteri Hukum dan HAM menggagas revisi Undang-Undang (UU) Terorisme. Gagasan itu muncul setelah masyarakat Indonesia dikagetkan dengan adanya kejadian bom Sarinah di Jakarta. Bom dan tindakan penyerangan membabi buta terhadap warga sipil dan aparat keamanan itu menyadarkan betapa lemahnya sistem keamanan nasional terhadap ancaman terorisme.
Dalam konteks lokal kedaerahan, kita masih ingat bagaimana teror bom malam tahun baru lalu berlangsung tanpa ada evaluasi menyeluruh terhadap kemampuan nasional melawan ancaman terorisme. Dengan demikian, kebutuhan akan jaminan keamanan dari sebuah sistem yang melindungi segenap tumpah darah Indonesia menjadi sebuah keniscayaan.
Sosok teroris yang dipertontonkan di pusat Ibu Kota negara itu masih merupakan figur absurd yang sedang dicari pelabelan yang tepat, meski dampak terorisme itu dapat dirasakan akibatnya. Kalau hukum menjadi penting sebagai jalan keluar dalam menjawab segala permasalahan, apakah dia ada di tengah-tengah masyarakat, menjadi pelindung dan pengayom serta melakukan pencegahan sebelum semua itu terjadi?
Dalam rencana revisi UU Terorisme yang akan diselenggarakan oleh pemerintah beberapa waktu ke depan, rumusannya akan menjadi tampak amat sumir dan multiinterpretasi jika hal ini disandarkan pada aksi sporadis pemerintah semata.