Sabtu 27 Feb 2016 06:15 WIB

Memaknai Persaudaraan antara Suni dan Syiah

Red: M Akbar
Kerukunan Beragama (Ilustrasi)
Foto: Republika/Mardiah
Kerukunan Beragama (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Guntara Nugraha Adiana Poetra, Lc, MA

(Dosen Komunikasi & Penyiaran Islam Fakultas Dakwah Universitas Islam Bandung/UNISBA)

Sensitif. Mungkin itulah kata yang biasa terlontar ketika kalangan Suni membahas tentang kerancuan ajaran Syiah. Alasannya, karena bisa menimbulkan perdebatan dan perpecahan. Benarkah demikian?

Sebaiknya, kita semua bisa membuka mata, telinga, dan pikiran. Cobalah kita renungi kembali apa arti "sensitif" itu. Kebanyakan orang belum mengkaji, membaca, merenungi seraya memahami secara mendalam, bahkan belum menempatkan pada porsinya.

Jika dibahasakan, "sensitif" yaitu ketika kita sebagai umat beragama kurang peka dengan kondisi, segala fenomena, dan realitas keagamaan. Kita masih sulit membedakan kajian ilmiah, pembelajaran, klarifikasi, interaksi sosial, dan toleransi beragama.

Tidakkah kita memperhatikan, bagaimana bangsa Yahudi dengan Iluminatinya menjadi gerakan masif mendunia. Selain mereka, semua dikatakan hina dina karena kehadirannya dianggap sebagai pelayan mereka di muka bumi.

Kalangan Yahudi terkenal rasis, menganggap umat pilihan Tuhan sekaligus anak-anak Tuhan. Apa pun akan dihalalkan demi mewujudkan ambisi Israil Raya, termasuk riba, sampai genosida.

Lantas, apakah hal ini tidak sensitif?   

Selain kalangan Nasrani, manusia tidak akan selamat di akherat kelak. Penyebabnya, karena tidak beriman kepada Nabi Isa (Yesus) sebagai juru selamat kecuali bertobat. Lebih dari itu, para misionaris terus berhamburan, Kristenisasi semakin gencar tak memandang waktu dan tempat. Mereka masuk ke dalam kearifan lokal, media, televisi, bahkan secara persuasif berubah layaknya santri, berkoko, pecian, sarungan, dan berjilbab dalam misi terselubungnya.

Sekali lagi, apa itu tidak dikatakan sensitif?

Kalangan sekuler, bahkan ateis, menganggap kehadiran agama sebagai lelucon, racun, penjara, dan dogma semata. Bahkan, agama dianggap hanya menjadi penghalang seseorang untuk meraih kesuksesan duniawi dan menghambat suatu negara untuk berkemajuan. Lebih dari itu, eksistensi Tuhan, keagungan dan kebesaran-Nya pun dinafikan. Tak jarang dipertanyakan.

Bukankah hal ini lebih sensitif?

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement