Kamis 17 Mar 2016 07:43 WIB

Zakat, Kemiskinan, dan Tantangan Era Digital

Red: M Akbar
 Ketua Umum Forum Zakat (FOZ) Nur Efendi saat konferensi pers ramadhan di Jakarta, Selasa (7/7).
Foto: Republika/Prayogi
Ketua Umum Forum Zakat (FOZ) Nur Efendi saat konferensi pers ramadhan di Jakarta, Selasa (7/7).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nur Efendi (CEO Rumah Zakat (RZ) dan Ketua Umum Forum Zakat Nasional)

Dinyatakan oleh Muhammad Zubair Mughal selaku CEO Al Huda Centre of Islamic Banking and Economics (CIBE)-Pakistan bahwa setengah dari populasi penduduk miskin di dunia berada di negara-negara Muslim. Kondisi ini mengindikasikan bahwa hingga saat ini begitu banyak umat Muslim di dunia yang tengah tenggelam dalam atau sangat rentan terhadap kemiskinan.

Secara harfiah, lawan dari kemiskinan adalah kekayaan. Jadi, idealnya ketika ada porsi kekayaan (yang memiliki harta melebihi kecukupan hidupnya) dan kemiskinan (yang memiliki minim hingga tidak sama sekali harta), tatanan sosial masyarakat bisa seimbang.

Meskipun demikian, konteks dari adanya kekayaan ini tidak serta-merta mengeliminasi fenomena kemiskinan yang mengakar hingga saat ini. Itulah mengapa Islam mengatur tatanan ini dengan konsep zakat, sebagaimana tersurat dalam ayat-ayat berikut ini:

''Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk  budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana (QS at-Taubah: 60).

''Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan  mereka  dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui'' (QS at-Taubah: 103).

Kondisi ini tentunya menjadi tantangan bagi Lembaga Amil Zakat (LAZ). Terutama tantangan-tantangan tersendiri untuk mengambil zakat dan mendistribusikannya kepada mereka yang berhak. Terlebih, di era digital sekarang di mana begitu banyak generasi milenial yang menjadi lokomotif perubahan dan pergerakan tren di dunia.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement