REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nur Efendi (CEO Rumah Zakat, Ketua Umum Forum Zakat Nasional)
Forum Zakat (FOZ) telah berkomunikasi dengan Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) terkait peta jalan menuju sertifikasi profesi amil. Bagaimana diskursus profesionalitas amil ini? Berikut tulisan saya.
Menyandang status amil di ranah zakat begitu mudah. Cukup ikut kumpul-kumpul atau pura-pura sibuk bersama dengan orang-orang yang mengurus zakat maka predikat amil bisa langsung didapat. Tak perlu repot-repot harus memiliki skill atau kompetensi yang menyita waktu.
Memang agak ganjil. Tapi itulah fakta profesi amil saat ini di Indonesia. Jika begitu, lantas patutkah kita berharap para amil tersebut bisa meraih penghimpunan potensi zakat yang mencapai angka puluhan triliunan?
Dalam kitab-kitab klasik banyak sekali ditemukan definisi tentang amil. Imam at-Thabari (w. 310 H) menerangkan,''Amil sebagai para wali yang diangkat untuk mengambil zakat dari orang yang berkewajiban membayarnya, dan memberikannya kepada yang berhak menerimanya. Mereka (amil) diberi (bagian zakat) itu karena tugasnya, baik kaya ataupun miskin.''
Imam al-Mawardi (w. 450 H), dari mazhab Syafi’i memaparkan,''Amil merupakan orang yang diangkat untuk mengumpulkan zakat dan mendistribusikan-nya. Mereka dibayar dari zakat itu sesuai dengan kadar upah orang-orang yang sepadan dengan mereka''.
Sedang Imam Az-Zarakasyi, dari mazhab Hanafi berpendapat,''Amil adalah orang yang diangkat oleh Imam/Khalifah menjadi pekerja untuk mengumpulkan sedekah (zakat). Mereka diberi dari apa yang mereka kumpulkan sekadar untuk kecukupan mereka dan kecukupan para pembantu mereka. Besarnya tidak diukur dengan harga (upah).'' Masih banyak lagi definisi dari para ulama tentang apa dan siapa itu amil.
Laiknya sebuah definisi, meski beberapa versi, tidak akan bisa mencakup secara keseluruhan unsur dari objek yang dimaksud. Karena masing-masing memiliki sudut pandang yang berbeda. Namun dari sekian pendapat tentang amil, ada satu titik temu yang menjadi satu kesamaan persepsi yaitu bahwa eksistensi amil sangat vital dalam ranah zakat. Bahkan jika diperlebar cakupannya bisa dinyatakan, ''berhasil atau tidaknya pengelolaan zakat sangat ditentukan oleh baik buruknya kinerja amil.''
Dalam konteks Indonesia seiring dengan perkembangan kesadaran keislaman yang kian tinggi serta meningkatnya kesadaran penerapan bisnis berbasis syariah makin banyak lembaga yang mentahbiskan diri sebagai amil zakat, bak jamur di musim hujan. Mulai dari yang terkesan seadanya, hingga yang cukup serius dengan mendirikan sekretariat megah lengkap dengan papan nama besar. Sembari menebar spanduk ajakan berzakat di berbagai sudut jalanan.
Di satu sisi fenomena ini patut disyukuri mengingat makin banyak masyarakat yang peduli terhadap persoalan kemiskinan serta mau bekerja keras mengangkat derajat mustahik. Namun pada saat bersamaan muncul kekhawatiran apakah inflasi amil ini justeru akan menimbulkan persoalan baru yang mendistorsi misi besar dari kegiatan pengelolaan zakat.
Kekhawatiran tersebut agaknya patut muncul karena cukup mudah mendirikan lembaga amil, syarat yang mesti dipenuhi tidak terlalu rumit tatkala seseorang atau sekelompok masyarakat yang hendak mendirikan lembaga amil zakat. Meskipun regulasi saat ini sudah cukup ketat mengatur kelembagaan, namun tidak ada aturan atau pedoman khusus terkait personel atau keamilan.
Masalah ini lantas berkait erat dengan model rekrutmen pegawai yang terkesan asal comot karena tak ada standarisasi yang kongkrit akan kualifikasi apa saja yang harus dimiliki oleh para petugas pengumpul zakat. Hal tersebut diyakini akan berdampak bukan saja pada citra lembaga dimana amil tersebut berada, lebih jauh juga akan berimplikasi pada kuantitas perolehan donasi zakat.
Di Indonesia saat ini untuk menjadi amil masih sangat mudah. Dengan melibatkan diri di sebuah lembaga zakat lalu bisa serta merta ‘mengaku’ sebagai amil. Begitu mudah bak membalikkan telapak tangan. Tak peduli apa latar belakang mereka. Padahal jika diseleksi lebih ketat, persyaratan untuk menjadi seorang amil sebagaimana yang disebutkan dalam fikih masih belum terpenuhi.
Fakta tersebut bukannya tak memiliki konsekwensi. Yang paling nyata dan dapat dirasakan langsung adalah amil dianggap sebagai pekerjaan sampingan (side job) sehingga sulit untuk bisa disejajarkan dengan pekerjaan lain, lebih-lebih jika mengharap menjadi profesi pilihan. Masih sangat jauh.
Perhatian pemerintah terhadap persoalan ini juga sangat minim. Tak bisa dipungkiri, dari kacamata agama amil menempati posisi yang amat mulia tetapi dalam kategori aktivitas kehidupan sehari-hari masih jauh untuk disebut sebagai profesi yang menjanjikan dan membanggakan termasuk oleh pemerintah yang memiliki kemententerian dengan direktorat zakat. Ironis memang.
Keadaan semacam itu tentu saja tak bisa lama-lama dibiarkan. Sudah sangat mendesak jika di masa-masa mendatang, amilin dibekali dengan keterampilan khusus dengan standarisasi kemampuan minimal. Hal ini jangan dipahami sebagai upaya memangkas peran masyarakat terlibat dalam urusan zakat tetapi sebagai bagian dari upaya meningkatkan kapasitas dan kemampuan amil.
Sebab dengan munculnya pelbagai entitas bisnis syariah yang makin variatif seperti asuransi syariah, perbankan syariah, sukuk, pasar modal syariah dan lain-lain melahirkan konsekwensi adanya kewajiban berzakat atas kegiatan tersebut yang berimbas pada tuntutan terhadap peningkatan kapasitas dan kompetensi SDM amilin.
Selama ini paradigma yang menjadi mainstream menggunakan tolok ukur fikih centris. Akan banyak dibutuhkan profesional bukan saja yang memahami hukum zakat tetapi juga mengetahui tentang akuntansi, komunikasi bisnis, dan pemahaman ekonomi.
Tak bisa dipungkiri bila profesionalisme amil berkorelasi dengan perolehan jumlah penghimpunan seperti yang sekarang terjadi. Ada lembaga amil yang pendapatannya begitu tinggi, ada yang sedang, tak sedikit pula yang rendah. Mereka yang mampu mendapatkan dana ’kakap’ karena ditopang oleh SDM yang ‘mumpuni’ dan di-back-up sistem modern.
Dan yang tak kalah penting mereka mampu menjaga kepercayaan (amanah) masyarakat melalui transparansi karena itu sudah menjadi keniscayaan dari akuntabilitas lembaga yang mengelola dana publik. Dengan demikian tanpa diminta atau disuruh kesadaran masyarakat untuk mengeluarkan zakat pada lembaga tersebut dengan sendirinya berjalan.