Oleh: Mohammad Hailuki*
Sudah kita maklumi, siapapun yang terpilih menjadi ketua umum maka Partai Golkar akan merapat menjadi koalisi pendukung pemerintah. Hanya yang menjadi antiklimaks adalah pertarungan perebutan kursi ketua umum Golkar tidak sesengit yang diperkirakan banyak orang.
Tidak seperti pada Munas 2004 di Bali saat Jusuf Kalla mengalahkan Akbar Tanjung melalui beberapa putaran, begitu pula dengan Munas 2009 di Riau yang sarat dengan drama ketika Aburizal Bakrie berhasil kalahkan Surya Paloh yang didukung oleh Jusuf Kalla.
Munaslub Golkar 2016 diharapkan membawa angin segar perubahan, munculnya enam calon ketua umum dan digelarnya proses debat terbuka menabur optimisme akan adanya kesadaran bersama (collective consciousness) bagi kader Golkar untuk melakukan pembenahan setelah selama setahun lamanya menghabiskan energi dalam konflik internal.
Maka adalah wajar apabila publik terheran-heran ketika mendengar kabar ternyata Setya Novanto terpilih secara aklamasi sebagai ketua umum Golkar. Meski sempat ada perlawanan dari Ade Komaruddin yang sekarang menjadi ketua DPR RI namun memasuki putaran ketua justru malah yang terjadi adalah antiklimaks. Ade memilih tidak melanjutkan pertarungan, begitu pula dengan para kandidat lain yang enggan memberikan perlawanan.
Praktis, pertarungan dihentikan seketika dan Setya Novanto resmi didaulat menjadi nahkoda baru Partai Golkar. Dengan air muka bahagia, ketua Fraksi Partai Golkar di DPR itu memuja-muji Ade Komaruddin sebagai sosok teladan politik yang berjiwa negarawan.
Kehadiran Negara
Satu-satunya drama yang kentara mengemuka dalam perhelatan Munaslub Golkar Kali ini adalah mencuatnya intervensi dari penguasa yang begitu 'telanjang tanpa busana'. Adalah Wapres Jusuf Kalla dan Menko Polhukam Luhut Pandjaitan yang tampil mewakili Istana menjadi pengendali dinamika Munas tersebut. Negara 'hadir' dan sangat responsif!
Yang membuat publik terpingkal-pingkal adalah Jusuf Kalla dan Luhut meski sama -sama mewakili penguasa namun ternyata tidak berada dalam gerbong yang sama. Kentara sekali Luhut seolah berperan sebagai 'ketua Tim Sukses' Setya Novanto sedangkan Jusuf Kalla mencoba tampil elegan seolah netral namun tidak menghendaki Setya menjadi ketua umum Golkar.
Pernyataan Luhut yang mengatakan bahwa Presiden Joko Widodo tidak nyaman apabila ketua umum Golkar merangkap sebagai pejabat publik merupakan indikasi nyata adanya intervensi penguasa terhadap urusan rumah tangga Golkar. Tidak semestinya seorang Menkopolhukam mengeluarkan pernyataan demikian seolah kita masih hidup dalam masa Orde Baru yang mana ketua umum terpilih harus sesuai dengan keinginan penguasa.
Masih segar dalam memori kita bagaimana Pangab Jenderal LB Moerdani cawe-cawe dalam urusan dapur Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada era 1980-an dan Pangab Jenderal Feisal Tanjung mengobok-obok Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dengan cara menggelar kongres di Medan pada 1996.
Mestinya penguasa bisa menahan diri untuk tidak tampil kentara dan dominan mengendalikan arena Munaslub Golkar. Bagaimanapun, kita maklumi bahwa setiap penguasa berkepentingan untuk mewujudkan stabilitas politik yang efektif, namun tidak mesti melakukan intervensi terlalu dalam. Walau Jusuf Kalla dan Luhut adalah kader tulen Golkar, namun harus bisa menempatkan diri secara proporsioal dalam dinamika internal Golkar.
Intervensi penguasa adalah noda! Bagaimanapun, partai politik sebagai instrumen utama sistem demokrasi memilik otonomi dalam mengelola rumah tangga dengan tanpa harus ikut campur penguasa didalamnya. Namun, di sisi lain, hadirnya penguasa dalam arena munaslub juga semakin membahana ketika internal partai yang bersangkutan sendiri membuka diri untuk diintervensi. Pendek kata, seolah Golkar memang menghendaki intervensi penguasa atas dirinya.
Saudagarisme
Entah disadari atau tidak, terpilih nya Setya Novanto sebagai ketua umum Golkar akan membawa kerugian bagi citra partai mengingat sejumlah isu tak sedap yang menyelimuti sosok Setya. Sangat disayangkan, para pemilik suara di Munaslub tidak pertimbangkan sentimen publik tersebut.
Di era dimana partisipasi politik publik semakin tinggi, hal utama yang harus diinsyafi adalah persepsi dan sentimen publik. Mengabaikannya sama dengan 'bunuh diri' karena loyalitas masyarakat pemilih berubah seiring perkembangan zaman. Dan yang juga semestinya disadari oleh para pemegang hak suara, partai politik punya fungsi agregasi kepentingan (Gabriel Almond, 1966). Munas tidak sebatas hajat internal para elite partai, melainkan juga hajat publik pemilih partai yang bersangkutan.
Publik mengharapkan sosok berintegritas sebagai ketua umum Golkar, jika dirasa sulit menemukannya paling tidak perlu dicari figur yang minim kontroversi. Kepentingan publik ini yang semestinya diagregasi oleh Golkar dalam sosok ketua umumnya. Sehingga Golkar tidak hanya bisa melakukan konsolidasi internal melainkan juga memulihkan kepercayaan masyarakan pemilih (voters trust). Sosok Setya tampaknya sulit untuk bisa memenuhi tujuan tersebut.
Maka pada akhirnya wajar apabila kita menilai sesungguhnya intervensi penguasa telah berhasil menempatkan Golkar ke dalam sebuah kandang perangkap untuk lima tahun ke depan. Golkar tersandera oleh sosok Setya Novanto yang banjir sentimen negatif, bahkan sangat logis apabila energi Golkar akan habis untuk melindungi kepentingan-kepentingan Setya semata. Sehingga konsolidasi tak optimal, kepercayaan pemilih pun tak pulih.
Pragmatis Borjuis
Berdasarkan orientasi politiknya, partai politik diklasifikasikan menjadi tiga yaitu partai doktriner, partai kepentingan, dan partai pragmatis (Ramlan Surbakti, 1992). Dari ketiganya Golkar termasuk dalam kategori partai pragmatis yaitu dimana ciri utamanya adalah perubahan waktu, situasi dan kepemimpinan akan mengubah haluan partai tersebut.
Perubahan haluan perjuangan dan penampilan partai tersebut menyesuaikan kepada gaya kepemimpinan pemimpin partai yang bersangkutan. Kriteria ini tampaknya relevan dengan kondisi terkini Golkar, meski memilik doktrin kekaryaan namun dalam prakteknya sering tereduksi oleh kepentingan borjuasi elite-elitenya, terutama kepentingan ekonomi politik sang ketua umum Golkar.
Dalam tiga periode terakhir Golkar dipimpin oleh kaum saudagar, yaitu Jusuf Kalla (Bukaka Group), Aburizal Bakrie (Bakrie Group), dan kini Setya Novanto (Nova Group) sehingga semakin mengukuhkan Golkar sebagai partai borjuis dimana orientasi politiknya sarat dengan kepentingan akumulasi kapital kaum saudagar pengendali Golkar. Saudagarisme telah menjadi ciri bagi partai ini.
Dengan terpilihnya Setya Novanto, maka kepentingan saudagar tampak akan lebih mengemuka ketimbang kepentingan publik. Merapatnya Golkar menjadi mitra koalisi pemerintah sudah barang tentu membawa konsesi berupa kursi menteri, entah apakah ada konsesi lain di luar itu. Yang jelas berapapun yang diterima, itulah bentuk nyata dari jejaring kuasa atas Golkar dan Setya. Pemenang munas sejatinya adalah Istana.
*Penulis adalah pengamat politik Universitas National Jakarta, pengurus Ikatan Alumni Ilmu Politik IISIP Jakarta, peneliti Centre for Indonesian Political and Social Studies (CIPSS).