Selasa 31 May 2016 13:21 WIB

Menggagas Tradisi Baru Jurnalisme Islam

Draf deklarasi ditampilkan saat penutupan ICIM 2016 di Jakarta, Kamis (26/5). (Republika/Wihdan)
Foto: Republika/ Wihdan
Draf deklarasi ditampilkan saat penutupan ICIM 2016 di Jakarta, Kamis (26/5). (Republika/Wihdan)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Roni Tabroni*

Ada kebutuhan mendesak bagi umat Islam hari ini. Selain membangun kesadaran tentang dakwah yang bersifat langsung berhadapan jamaah, juga menggarap media massa yang lebih serius. Ini  merupakan PR yang harus cepat dijawab. Walaupun agenda media akan bersifat jangka panjang, namun hari ini Islam sebagai agama dan ummatnya di dunia berada dalam tekanan informasi yang harus diluruskan secara cepat.

Urgensi media massa Islam ini menjadi lebih mendesak ketika berbicara tentang Palestina, yang merupakan PR terbesar peradaban bangsa ini, termasuk rekomendasi penting peringatan Konverensi Asia Afrika (KAA) di Bandung tahun lalu. Informasi ummat Islam di Palestina dibuat tidak berimbang dalam pemberitaan barat yang kemudian mewarnai media-media di dunia. Akibatnya, pemutarbalikan fakta di lapangan membuat manusia kurang peduli terhadap penindasan yang terjadi di sana.

Selain itu, di luar konteks Palestina, umat Islam kini memiliki image yang kurang baik pada masyarakat pada umumnya. Dalam percaturan global, Islam dan ummatnya identik dengan keras, kejam, dan tidak toleran. Dalam statement KH Hasyim Muzadi, inilah yang disebut dengan kesalahan persepsi tentang Islam.

Persepsi manusia pada dasarnya banyak dipengaruhi oleh media massa. Karenanya untuk mengembalikan tentang persepsi yang salah tentang Islam, maka harus diperbaiki konten medianya. Dalam konteks inilah maka kita memandang bahwa persoalan media massa yang lebih manusiawi, lebih beradab, damai, dan humanis menjadi penting.

Dua agenda penting yang sekiranya dalam digarap untuk membangun citra Islam menjadi lebih baik dan sesuai dengan faktanya yaitu damai. Pertama, diperlukan model media massa yang lebih komit pada keberimbangan sebuah informasi. Selain berimbang, diperlukan juga sebuah liputan yang lebih komprehensif dan objektif. Dengan demikian, maka informasi tentang Palestina misalnya, tidak hanya sepotong dan cenderung merugikan salah satu pihak, tetapi lebih komplit dan memotret secara total apa yang sebenarnya terjadi.

Keberpihakan media sebenarnya bukan wacana baru, namun ummat Islam khususnya dalam kasus Palestina, pemberitaan media Barat dianggap sudah keterlaluan dalam menjalankan agendanya, sehingga ummat Islam di sana selalu menjadi korban.  Keberimbangan dan objektivitas sebenarnya menjadi tugas seorang jurnalis, sehingga dia tidak akan melihat objek liputan itu berdasarkan agama atau suku bangsa.

Kedua, agenda yang juga penting ke depan adalah bagaimana membangun tradisi jurnalisme yang lebih ramah terhadap Islam. Media massa Islam, seperti yang diharapkan dalam International Conference of Islamic Media (ICIM), akan menjadi media yang rahmatan lil alamin. Yaitu bentuk media yang mencerminkan keadilan dan tidak merugikan pihak-pihak tertentu.

Dalam membangun citra Islam, media yang menjadi rahmat ini akan lebih menginformasikan Islam secara lebih elegan dan objektif. Yaitu Islam yang ramah, peduli kemanusiaan, damai, dain tidak diskriminatif. Untuk itu, agenda yang kedua ini diharapkan dapat membangun tradisi positif journalism tentang Islam.

Positif journalism di sini yaitu sebuah tradisi jurnalistik yang menginformasikan yang berbasis pada beberapa point: pertama, jurnalisme damai (peace journalism). Jurnalisme yang mampu mencerminkan Islam yang sangat peduli, bukan hanya kepada sesama manusia, tetapi juga kepada mahluk hidup lainnya.

Kedua, jurnalisme  inspiratif (inspiring journalism). Yaitu jurnalisme yang dapat memberikan inspirasi kepada manusia baik ummat Islam maupun non Islam tentang ajaran Islam yang baik, yang dicerminkan oleh ummatnya baik dalam ucapan, maupun dalam berperilaku. Inspirasi juga dapat dicerminkan dari kepedulian ummat Islam terhadap peradaban ini yang dilakukan baik secara perorangan maupun kolektif dengan organisasinya masing-masing.

Ketiga, Jurnalisme yang memberikan inspirasi (journalism of hope). Yaitu jurnalisme yang mampu mengabarkan tentang ajaran Islam yang bersifat melayani, ramah terhadap peradaban, akan memberikan harapan kepada berbagai pihak – tanpa memandang agama, suku, dan RAS – di manapun mereka berada. Tradisi jurnalisme seperti ini akan melihat seseorang atau pihak-pihak tertentu dari sisi yang baiknya, bukan sebaliknya.

Trend jurnalisme di atas, diharapkan dapat memberikan warna baru dalam membangun tradisi jurnalisme Islam yang bersifat rahmatan lil alamin tadi. Karenanya, dengan spirit dakwah yang sangat mulia itu, media massa Islam selain mengembalikan citra Islam yang kurang baik, juga akan semakin membuat Islam dihormati. Upaya ini juga diharapkan lebih ramah dan elegan, dibanding harus melawan “musuh” dengan cara boikot atau praktek distruktif lainnya.

Yang menjadi PR-nya kemudian, bagaimana para jurnalis Islam ini dapat membangun cara pandang yang sama sehingga terbangun tradisi jurnalisme di atas. Kemudian, yang tidak kalah pentingnya yaitu menghimpun media-media Islam dan jurnalis Islam dalam sebuah wadah tertentu. Dengan penyatuan tersebut mudah-mudahan informasi Islam akan jauh lebih baik sehingga membangun persepsi positif tentang Islam di masyarakat dunia.

* Penulis adalah Dosen Komunikasi Universitas Sangga Buana YPKP, Anggota Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah, dan Peserta International Conference of Islamic Media (ICIM)

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement